Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (teman kuliah
di ITS) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
Pak Imron,
mohon bantuannya untuk
menghitungkan
punyaku karena sampai saat ini aku
dan saudara-saudaraku belum bagi-bagi warisan.
Ayah (Ds) wafat tahun 1979. Saat ayah
wafat, yang
masih hidup: ibu (Sm), 3 anak perempuan
(Ed, Id, Er) dan
1 anak laki-laki
(Hr).
Harta peninggalan ayah: rumah tempat tinggal (asumsi yang
beli ayah karena ibu tidak bekerja), warisan tanah di Kediri yang kemudian
dibelikan rumah di Situbondo yang pada tahun 2004 dihibahkan ke anak laki-laki
(Hr).
Karena keuletan ibu usaha
selama janda sempat membelikan rumah buat anak perempuan no. 1 (Ed) dan no. 2 (Id), tahunnya lupa tapi
sekitar tahun 80 s/d 90-an.
Sedangkan anak
no. 3
sampai
ibu meninggal belum dibelikan/diberi
rumah.
Tahun 1996 anak perempuan no. 1 wafat dengan meninggalkan suami serta 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Tahun 2004 anak perempuan no 2 (Id) wafat dengan meninggalkan suami
dan 2 anak perempuan.
Tahun 2004 suami dari Ed juga wafat.
Tahun 2008 ibu wafat dengan meninggalkan 1 anak
perempuan & 1 anak laki-laki.
Harta warisan ibu:
1. Rumah di Situbondo yang sekarang disewakan
2. Rumah di Surabaya yang disewakan
3. Uang Tunai
Pertanyaan:
Bagaimana sebaiknya pembagian yang benar menurut syariat,
apakah pembagian harta warisan ayah diselesaikan dulu termasuk siapa saja ahli
warisnya kemudian harta ibu beserta siapa saja ahli warisnya atau semua harta
warisan ayah dan ibu digabung. Terus untuk anak yang belum diberi rumah diberi
dulu baru sisanya dibagi?
Pernah konsultasi dengan Pak Agung Cahyadi kalau rumah
pembelian hasil warisan ayah yang dihibahkan kepada anak laki-laki oleh ibu itu
tidak sah karena harta itu bukan hak ibu. Jadi yang dihibahkan hanya 1/8 (jatah
ibu), sedangkan 7/8 adalah hak 3 anak perempuan juga.
Tanggapan
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk
membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
Saudaraku,
Kasus di atas menjadi rumit karena pembagian harta
warisan tidak dilakukan segera setelah orang yang memberikan warisan wafat.
Karena kasusnya
rumit, agar lebih mudah pembahasannya, maka harus dibahas secara bertahap.
√ Ayah (Ds) wafat tahun 1979. Saat ayah wafat, yang masih
hidup: ibu (Sm), 3 anak perempuan (Ed, Id, Er) dan 1 anak laki-laki (Hr).
Harta peninggalan ayah: rumah tempat tinggal (asumsi yang
beli ayah karena ibu tidak bekerja), warisan tanah di Kediri yang kemudian
dibelikan rumah di Situbondo yang pada tahun 2004 dihibahkan ke anak laki-laki
(Hr).
Saudaraku,
Sebelum membahas pembagian
harta waris, berikut ini aku bahas terlebih dahulu tentang harta milik bersama
(yang kemudian di-istilahkan dengan harta gono-gini).
Harta milik bersama suami-istri
atau harta gono-gini adalah harta yang diperoleh oleh mereka berdua
selama dalam masa perkawinan, seperti: harta yang dihibahkan oleh seseorang
kepada suami-istri, harta benda yang dibeli oleh suami-isteri dari uang mereka
berdua, tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, dll.
Saudaraku,
Harta milik bersama suami-istri
atau harta gono-gini tersebut jika salah satu meninggal (suami atau isteri), sebelum
dibagi waris harus dipisahkan terlebih dahulu bagian harta gono-gini yang
menjadi haknya almarhum/almarhumah semasa hidup. Selanjutnya hanya bagian
inilah yang bisa dibagikan kepada para ahli waris. Sedangkan mengenai cara
pemisahannya/cara pembagiannya sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya (Tentang Pembagian Harta Warisan I ~ terbit di
blog ini pada tanggal 01.11.19).
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan dalam
artikel sebelumnya (Tentang Pembagian
Harta Warisan I), bahwa terkait harta gono-gini, jika diketahui secara
pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja suami diketahui
secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja
istri diketahui dengan pasti, maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas
yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
Dalam hal seperti ini, saat
suami wafat, maka hanya harta gono-gini yang menjadi bagian almarhum saja yang
dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian
dari isteri tetap menjadi haknya isteri saat suami meninggal (artinya tidak
termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak
berhak atasnya).
Sedangkan jika harta gono-gini
tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri
karena suami-istri sama-sama bekerja atau saling bekerja-sama dalam membangun
ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja
mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan harta suami
bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) yang
telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.
Namun kesepakatan tersebut hanya
berlaku jika masing-masing dari suami-istri memang mempunyai andil dalam
pengadaan barang/harta yang telah menjadi milik bersama (biasanya ini terjadi
jika suami dan istri sama-sama bekerja).
Sedangkan jika istri di rumah
dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam).
Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan
Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan
Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah
Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
Saudaraku,
Karena tidak
terdapat harta gono-gini (jika istri di rumah dan suami yang
bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah
milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan
kepada para ahli waris.
Meskipun demikian, jika kasus seperti ini diselesaikan di
pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia,
dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda
cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh
selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari
suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal
dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai
berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang
bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan
(musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal
ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini
antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun
isteri tidak bekerja). Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami
meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atasnya.
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam.
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan warisan lebih
sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka solusinya mudah
saja. Toh
selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu
kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.
1. Pembagian warisan saat ayah (Ds) meninggal tahun 1979
Berdasarkan informasi yang
saudaraku berikan di atas, maka semua harta peninggalan ayah (Ds) berupa rumah
tempat tinggal serta warisan tanah di Kediri, menjadi harta warisan dan menjadi
hak para ahli waris dengan pembagian sebagai berikut:
♦ Isteri almarhum (Sm)
mendapatkan warisan sebesar 1/8
bagian (atau 12,5%) dari total harta warisan.
...
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
♦ Sisanya sebesar 7/8 bagian
(atau 87,5%) dari harta warisan tersebut menjadi hak anak-anak Ds karena anak
laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah. Selanjutnya dari sisa sebesar 87,5% dari harta warisan tersebut dibagi dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1.
Sehingga masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/5 dari 87,5% = 35% dari harta warisan.
√ Setiap satu orang anak perempuan
mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 1/5 dari 87,5% = 17,5% dari harta warisan.
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
Saudaraku mengatakan bahwa warisan tanah di Kediri yang
kemudian dibelikan rumah di Situbondo yang pada tahun 2004 dihibahkan ke anak
laki-laki (Hr).
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa hibah yang dilakukan oleh ibu (Sm)
semasa hidupnya kepada anak laki-lakinya (Hr) tidak sah karena harta itu bukan
hak pribadi ibu, namun bercampur dengan hak ahli waris lainnya.
Hal ini sejalan dengan hasil konsultasi saudaraku kepada
Ust. Agung Cahyadi, Lc., MA. yang menyatakan bahwa rumah pembelian hasil
warisan ayah yang dihibahkan kepada anak laki-laki oleh ibu itu tidak sah karena
harta itu bukan hak pribadi ibu, namun bercampur dengan hak ahli waris lainnya.
Dengan demikian, sebenarnya yang dihibahkan hanya 1/8 bagian saja dari total
harta warisan (yang merupakan jatah ibu).
Untuk lebih jelasnya, berikut ini saya beri permisalan
tentang harga dari harta warisan tersebut. Misal warisan tanah di Kediri yang
kemudian dibelikan rumah di Situbondo harganya Rp 300 juta sedangkan rumah
tempat tinggal harganya Rp 500 juta, maka total harta warisan adalah Rp 800
juta.
Dari jumlah tersebut, 1/8 bagian atau Rp 100 juta adalah
hak ibu. Maka yang sah dihibahkan kepada anak laki-lakinya (Hr) hanya senilai
Rp 100 juta itu saja. Sedangkan sisanya
sebesar Rp 700 juta menjadi hak
anak-anak Ds (sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian di atas).
Dari sisa harta warisan sebesar Rp 700 juta tersebut,
anak laki-laki (Hr) mendapat 2/5 bagian = 2/5 x Rp
700 juta = Rp 280 juta, sehingga jika digabung dengan hibah dari ibu, total
yang diterima Hr adalah Rp 380 juta. Sedangkan setiap anak perempuan
masing-masing mendapatkan 1/5 bagian = 1/5 x Rp
700 juta = Rp 140 juta.
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 3
tulisan }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar