بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Minggu, 01 Desember 2019

TENTANG SEPUTAR PEMBAGIAN HARTA WARISAN (I)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang sahabat (teman kuliah di ITS) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:

Pak Imron, mohon bantuannya untuk menghitungkan punyaku karena sampai saat ini aku dan saudara-saudaraku belum bagi-bagi warisan.

Ayah (Ds) wafat tahun 1979. Saat ayah wafat, yang masih hidup: ibu (Sm), 3 anak perempuan (Ed, Id, Er) dan 1 anak laki-laki (Hr).

Harta peninggalan ayah: rumah tempat tinggal (asumsi yang beli ayah karena ibu tidak bekerja), warisan tanah di Kediri yang kemudian dibelikan rumah di Situbondo yang pada tahun 2004 dihibahkan ke anak laki-laki (Hr).

Karena keuletan ibu usaha selama janda sempat membelikan rumah buat anak perempuan no. 1 (Ed) dan no. 2 (Id), tahunnya lupa tapi sekitar tahun 80 s/d 90-an. Sedangkan anak no. 3 sampai ibu meninggal belum dibelikan/diberi rumah.

Tahun 1996 anak perempuan no. 1 wafat dengan meninggalkan suami serta 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.

Tahun 2004 anak perempuan no 2 (Id) wafat dengan meninggalkan suami dan 2 anak perempuan.

Tahun 2004 suami dari Ed juga wafat.

Tahun 2008 ibu wafat dengan meninggalkan 1 anak perempuan & 1 anak laki-laki.
Harta warisan ibu:
1. Rumah di Situbondo yang sekarang disewakan
2. Rumah di Surabaya yang disewakan
3. Uang Tunai

Pertanyaan:
Bagaimana sebaiknya pembagian yang benar menurut syariat, apakah pembagian harta warisan ayah diselesaikan dulu termasuk siapa saja ahli warisnya kemudian harta ibu beserta siapa saja ahli warisnya atau semua harta warisan ayah dan ibu digabung. Terus untuk anak yang belum diberi rumah diberi dulu baru sisanya dibagi?

Pernah konsultasi dengan Pak Agung Cahyadi kalau rumah pembelian hasil warisan ayah yang dihibahkan kepada anak laki-laki oleh ibu itu tidak sah karena harta itu bukan hak ibu. Jadi yang dihibahkan hanya 1/8 (jatah ibu), sedangkan 7/8 adalah hak 3 anak perempuan juga.

Tanggapan

Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.

Saudaraku,
Kasus di atas menjadi rumit karena pembagian harta warisan tidak dilakukan segera setelah orang yang memberikan warisan wafat. Karena kasusnya rumit, agar lebih mudah pembahasannya, maka harus dibahas secara bertahap.

Ayah (Ds) wafat tahun 1979. Saat ayah wafat, yang masih hidup: ibu (Sm), 3 anak perempuan (Ed, Id, Er) dan 1 anak laki-laki (Hr).

Harta peninggalan ayah: rumah tempat tinggal (asumsi yang beli ayah karena ibu tidak bekerja), warisan tanah di Kediri yang kemudian dibelikan rumah di Situbondo yang pada tahun 2004 dihibahkan ke anak laki-laki (Hr).

Saudaraku,
Sebelum membahas pembagian harta waris, berikut ini aku bahas terlebih dahulu tentang harta milik bersama (yang kemudian di-istilahkan dengan harta gono-gini).

Harta milik bersama suami-istri atau harta gono-gini adalah harta yang diperoleh oleh mereka berdua selama dalam masa perkawinan, seperti: harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami-istri, harta benda yang dibeli oleh suami-isteri dari uang mereka berdua, tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, dll.

Saudaraku,
Harta milik bersama suami-istri atau harta gono-gini tersebut jika salah satu meninggal (suami atau isteri), sebelum dibagi waris harus dipisahkan terlebih dahulu bagian harta gono-gini yang menjadi haknya almarhum/almarhumah semasa hidup. Selanjutnya hanya bagian inilah yang bisa dibagikan kepada para ahli waris. Sedangkan mengenai cara pemisahannya/cara pembagiannya sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya (Tentang Pembagian Harta Warisan I ~ terbit di blog ini pada tanggal 01.11.19).

Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya (Tentang Pembagian Harta Warisan I), bahwa terkait harta gono-gini, jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti, maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.

Dalam hal seperti ini, saat suami wafat, maka hanya harta gono-gini yang menjadi bagian almarhum saja yang dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian dari isteri tetap menjadi haknya isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya).

Sedangkan jika harta gono-gini tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri karena suami-istri sama-sama bekerja atau saling bekerja-sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan harta suami bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) yang telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.

Namun kesepakatan tersebut hanya berlaku jika masing-masing dari suami-istri memang mempunyai andil dalam pengadaan barang/harta yang telah menjadi milik bersama (biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja).

Sedangkan jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam). Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah  Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com

Saudaraku,
Karena tidak terdapat harta gono-gini (jika istri di rumah dan suami yang bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli waris.

Meskipun demikian, jika kasus seperti ini diselesaikan di pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia, dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).

Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun isteri tidak bekerja). Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.

Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam syariat Islam.

Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan warisan lebih sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka solusinya mudah saja. Toh selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.

1.  Pembagian warisan saat ayah (Ds) meninggal tahun 1979

Berdasarkan informasi yang saudaraku berikan di atas, maka semua harta peninggalan ayah (Ds) berupa rumah tempat tinggal serta warisan tanah di Kediri, menjadi harta warisan dan menjadi hak para ahli waris dengan pembagian sebagai berikut:
   Isteri almarhum (Sm) mendapatkan warisan sebesar 1/8 bagian (atau 12,5%) dari total harta warisan.

... فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).

   Sisanya sebesar 7/8 bagian (atau 87,5%) dari harta warisan tersebut menjadi hak anak-anak Ds karena anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah. Selanjutnya dari sisa sebesar 87,5% dari harta warisan tersebut dibagi dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Sehingga masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
   Satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/5 dari 87,5% = 35% dari harta warisan.
   Setiap satu orang anak perempuan mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 1/5 dari 87,5% = 17,5% dari harta warisan.

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).

Saudaraku mengatakan bahwa warisan tanah di Kediri yang kemudian dibelikan rumah di Situbondo yang pada tahun 2004 dihibahkan ke anak laki-laki (Hr).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa hibah yang dilakukan oleh ibu (Sm) semasa hidupnya kepada anak laki-lakinya (Hr) tidak sah karena harta itu bukan hak pribadi ibu, namun bercampur dengan hak ahli waris lainnya.

Hal ini sejalan dengan hasil konsultasi saudaraku kepada Ust. Agung Cahyadi, Lc., MA. yang menyatakan bahwa rumah pembelian hasil warisan ayah yang dihibahkan kepada anak laki-laki oleh ibu itu tidak sah karena harta itu bukan hak pribadi ibu, namun bercampur dengan hak ahli waris lainnya. Dengan demikian, sebenarnya yang dihibahkan hanya 1/8 bagian saja dari total harta warisan (yang merupakan jatah ibu).

Untuk lebih jelasnya, berikut ini saya beri permisalan tentang harga dari harta warisan tersebut. Misal warisan tanah di Kediri yang kemudian dibelikan rumah di Situbondo harganya Rp 300 juta sedangkan rumah tempat tinggal harganya Rp 500 juta, maka total harta warisan adalah Rp 800 juta.

Dari jumlah tersebut, 1/8 bagian atau Rp 100 juta adalah hak ibu. Maka yang sah dihibahkan kepada anak laki-lakinya (Hr) hanya senilai Rp 100 juta itu saja. Sedangkan sisanya sebesar Rp 700 juta menjadi hak anak-anak Ds (sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian di atas).

Dari sisa harta warisan sebesar Rp 700 juta tersebut, anak laki-laki (Hr) mendapat 2/5 bagian = 2/5 x Rp 700 juta = Rp 280 juta, sehingga jika digabung dengan hibah dari ibu, total yang diterima Hr adalah Rp 380 juta. Sedangkan setiap anak perempuan masing-masing mendapatkan 1/5 bagian = 1/5 x Rp 700 juta = Rp 140 juta.

{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 3 tulisan }

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞