Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Tentang Seputar Pembagian Harta Warisan (II)”:
√ Tahun 2004 suami dari Ed
juga wafat.
4. Pembagian warisan saat suaminya
Ed meninggal tahun 2004
Saudaraku,
Karena yang meninggal adalah suaminya Ed, maka ibunya Ed
(yaitu Sm) maupun saudaranya Ed yang masih hidup (yaitu Er dan Hr) sama sekali
tidak mendapatkan jatah warisan karena mereka semua tidak berstatus sebagai
ahli waris.
Sedangkan yang menjadi ahli
warisnya adalah kedua mertuanya Ed (kedua orang-tua dari suaminya Ed) jika
masih hidup serta 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan, dengan pembagian
sebagai berikut:
♦ Ayah dan ibu dari suaminya Ed
masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari
total harta warisan.
...
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
...”. (QS. An Nisaa’. 11).
♦ Sisanya sebesar:
= 1 – (1/6 + 1/6)
= 1 – 2/6
= 1 – 1/3
= 2/3 bagian (atau 66,67%) dari harta
warisan tersebut menjadi hak anak-anaknya karena anak
laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah. Selanjutnya dari sisa sebesar 66,67% dari harta warisan tersebut dibagi dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1.
Sehingga masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/7 dari 66,67% = 19,05% dari harta warisan.
√ Satu orang anak perempuan
mendapat bagian warisan sebesar 1/7 dari 66,67% = 9,52% dari harta warisan.
Sedangkan apabila kedua mertuanya
Ed (kedua orang-tua dari suaminya Ed) sudah wafat terlebih dahulu, maka yang
menjadi ahli waris tinggal anak-anaknya dengan pembagian sebagai berikut:
♦ Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/7 bagian dari total
harta warisan.
♦ Satu orang anak perempuan
mendapat bagian warisan sebesar 1/7 bagian dari total
harta warisan.
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“... Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’.
11).
√ Tahun 2008 ibu wafat dengan meninggalkan 1 anak
perempuan & 1 anak laki-laki. Harta warisan ibu:
1. Rumah di Situbondo yang sekarang disewakan
2. Rumah di Surabaya yang disewakan
3. Uang Tunai
5. Pembagian warisan saat ibu (Sm) meninggal tahun 2008
Saudaraku,
Ada satu hal yang harus kita ketahui bersama, bahwa yang
paling utama dalam pembagian harta warisan adalah siapa yang wafat dan apakah
orang yang wafat itu mempunyai harta milik pribadi ketika masih hidup. Sebab yang akan dihitung sebagai harta warisan hanyalah sebatas harta milik
almarhum/almarhumah saja.
Dengan demikian, jika yang dimaksud dengan rumah di Situbondo
adalah rumah yang dibeli dari hasil penjualan warisan tanah di Kediri sedangkan
yang dimaksud dengan rumah di Surabaya adalah rumah tempat tinggal yang dibeli ayah
(Ds) semasa hidupnya, maka sudah tidak ada lagi yang bisa dibagikan karena
pembagiannya kepada para ahli waris telah selesai pada saat ayah (Ds) meninggal
pada tahun 1979. Dan hal ini telah dibahas secara panjang lebar (secara
mendetail) pada uraian sebelumnya.
Jika memang demikian, maka yang bisa dibagi sebagai harta
warisan tinggal uang tunai saja ditambah dengan harta warisan yang diperoleh
ibu (yang menjadi hak ibu sebagai ahli waris) saat anak perempuan no. 1 (Ed)
dan anak perempuan no. 2 (Id) meninggal.
Namun jika yang dimaksud dengan rumah di Situbondo maupun
rumah di Surabaya adalah rumah yang lain yang sepenuhnya hasil keringat ibu
saat menjanda, maka keduanya sepenuhnya adalah milik pribadi ibu. Ditambah
dengan uang tunai dan harta warisan yang diperoleh ibu saat anak perempuan no. 1 (Ed) dan anak perempuan no. 2 (Id) meninggal,
maka semuanya menjadi harta warisan (harta pusaka) dan menjadi hak dari para
ahli waris.
Jadi intinya adalah bahwa yang dapat dibagi kepada para
ahli waris hanyalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang wafat secara mutlak,
dalam hal ini hanya harta yang sepenuhnya menjadi milik pribadi ibu (Sm).
Saudaraku,
Dari semua
harta yang secara mutlak dimiliki ibu (Sm) semasa
hidupnya, akan menjadi
harta warisan (harta pusaka) saat ibu wafat dan menjadi hak para ahli waris. Dan
karena ahli warisnya tinggal 1 anak perempuan (Er) dan 1 anak laki-laki (Hr)
saja, maka semua harta warisan tersebut menjadi haknya Er dan Hr (karena sudah
tidak ada para ash-haabul furudh/pemilik bagian
pasti).
Selanjutnya dari semua
harta warisan tersebut dibagi dengan perbandingan
anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Sehingga masing-masing akan mendapatkan
pembagian sebagai berikut:
♦ Er (anak perempuan) mendapatkan 1/3 bagian dari total
harta warisan.
♦ Hr (anak laki-laki) mendapatkan 2/3 bagian dari total harta warisan.
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“... Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’.
11).
√ Bagaimana sebaiknya pembagian yang benar menurut
syariat, apakah pembagian harta warisan ayah diselesaikan dulu termasuk siapa
saja ahli warisnya kemudian harta ibu beserta siapa saja ahli warisnya atau
semua harta warisan ayah dan ibu digabung.
Alhamdulillah, sudah dibahas secara panjang lebar (secara
mendetail) pada uraian di atas.
√ Terus untuk anak yang belum diberi rumah diberi
dulu baru sisanya dibagi?
Karena kedua orang tua (Ds dan Sm) hingga wafatnya belum pernah
memberi/membelikan rumah kepada anak no. 3 (Er), maka Er hanya berhak atas
harta warisan saja (tidak mendapatkan hak berupa harta hibah dari ayah/ibunya),
sehingga harta warisan dapat dibagi dengan pembagian sebagaimana penjelasan
pada uraian di atas, tanpa adanya keharusan untuk memberi rumah kepada Er
terlebih dahulu sebelum warisan dibagi.
√ Saudaraku mengatakan pernah konsultasi dengan Pak Agung
Cahyadi kalau rumah pembelian hasil warisan ayah yang dihibahkan kepada anak
laki-laki oleh ibu itu tidak sah karena harta itu bukan hak ibu. Jadi yang
dihibahkan hanya 1/8 (jatah ibu), sedangkan 7/8 adalah hak 3 anak perempuan juga.
Alhamdulillah, hal ini juga sudah dibahas pada uraian di
atas.
6. Pelajaran yang bisa kita petik
dari kasus di atas
Saudaraku,
Seandainya pembagian harta warisan dilakukan segera
setelah orang yang memberikan warisan wafat, maka kasusnya menjadi lebih
sederhana dan para ahli waris bisa segera mendapatkan haknya.
Namun karena pembagian harta warisan tidak dilakukan
segera setelah orang yang memberikan warisan wafat, maka kasusnya menjadi
sangat rumit dan berpotensi menimbulkan konflik diantara pihak-pihak yang
merasa berhak mendapatkan jatah warisan.
Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati
terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah
Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{Tulisan ke-3 dari 3
tulisan}
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar