Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (staf
pengajar/dosen di Jawa Barat) telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron,
sekarang ini saya sedang bingung menghadapi persoalan anak saya yang in sya
Allah pada tahun depan punya niat untuk menikah tetapi sampai saat ini masih
membenci bapaknya. Saya bingung dan tidak bisa menyalahkan anak saya karena memang bapaknya sudah keterlaluan
mengkhianati kami sampai-sampai anak merasa trauma dan benci bapaknya. Saya gugat
ceraipun karena permintaan anak saya yang memang melihat bapaknya sudah keterlaluan”.
Tanggapan
Saudaraku,
Begitu banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan anak
untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, dimana perintah tersebut beriringan
dengan perintah untuk beribadah/menyembah serta bersyukur kepada-Nya. Hal ini menunjukkan,
betapa berbakti kepada kedua orang tua (ibu dan bapak) itu benar-benar
menduduki tempat yang sangat tinggi dalam Agama Islam. Berikut ini beberapa
ayat diantaranya:
...
لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ... ﴿٨٣﴾
“… Janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, …” (QS. Al Baqarah. 83).
قُلْ
تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ... ﴿١٥١﴾
“Katakanlah: "Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, …” (QS. Al An’aam. 151).
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُواْ إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُـمَا أَوْ كِلَاهُـمَا فَلَا تَقُل لَّـهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّـهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia”. (QS. Al Israa’. 23).
وَاعْبُدُواْ
اللهَ وَلَا تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ... ﴿٣٦﴾
“Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, …” (QS. An Nisaa’. 36).
...
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ ﴿١٤﴾
“… Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman. 14).
Saudaraku,
Perhatikan pula
penjelasan Al Qur’an dalam
surat Al ‘Ankabuut ayat 8 serta dalam
surat Luqman ayat 15 berikut ini:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan Kami wajibkan manusia
(berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut.
8).
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman. 15).
Saudaraku,
Dari dua ayat di atas, diperoleh penjelasan bahwa
sekalipun kedua orang tua memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah,
ternyata Allah tetap memerintahkan anak untuk berbakti kepada
keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik. Padahal perbuatan
syirik (mempersekutukan Allah) adalah dosa terbesar dari semua dosa, hingga
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik tersebut.
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا ﴿٤٨﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
(QS. An Nisaa’. 48).
Nah, jika
keduanya memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah saja ternyata Allah
tetap memerintahkan sang anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli
keduanya di dunia ini dengan baik, lalu bagaimanakah jika keduanya hanya
melakukan kekhilafan yang nilainya tidak sebanding dengan dosa syirik?
Sehingga dari uraian di atas dengan mudah dapat diambil
kesimpulan bahwa yang namanya anak itu harus tetap berbakti/tetap berbuat baik
kepada ayahnya selagi beliau masih hidup di dunia ini, meski beliau telah
berbuat salah kepadanya, sebesar apapun kesalahannya.
Memang tak
dapat dipungkiri jika memang benar sang ayah sudah keterlaluan dalam
mengkhianati saudaraku beserta anak-anak hingga anak merasa trauma kemudian
timbul rasa benci kepada ayahnya. Namun hendaknya kebencian dan
ketidaksukaan ananda tersebut bukan terhadap ayahnya, akan tetapi pada
perbuatan dan sikap ayah yang mengabaikan keluarganya. Bukankah Al-Quran tetap
memerintahkan untuk berbakti kepadanya/mempergaulinya di dunia ini dengan
baik, meskipun sang ayah (orang tua) berbeda
keyakinan? (Lihat kembali penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 serta
surat Luqman. 15 di atas).
Saudaraku,
Berikut ini kusampaikan bagaimana sikap Nabi Ibrahim AS
dalam menghadapi ayahnya yang kafir (sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam
surat Maryam ayat 41 – 44):
وَاذْكُرْ فِي
الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا ﴿٤١﴾ إِذْ قَالَ
لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِـمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا
يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا ﴿٤٢﴾ يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا
لَـمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا ﴿٤٣﴾ يَا أَبَتِ لَا
تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَـــٰنِ عَصِيًّا ﴿٤٤﴾ يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ
عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَـــٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا ﴿٤٥﴾
(41) Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. (42) Ingatlah ketika
ia berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu
yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? (43)
Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan
yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus. (44) Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (45)
Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari
Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (QS.
Maryam. 41 – 45).
Saudaraku,
Dalam surat Maryam ayat 41 – 45 di
atas, Nabi Ibrahim AS telah memanggil ayahnya dengan kata
أبت (abati) yang berarti “wahai bapakku”. Biasanya
seorang anak memanggil bapaknya dengan kata أبي (abi), tambahan huruf ت disini dalam Bahasa Arab
menunjukkan panggilan yang sangat halus penuh penghormatan kepada seorang
bapak.
Kemudian beliau (Nabi Ibrahim AS)
mulai menyampaikan dakwahnya dengan mengutarakan kata-kata dengan mengajak
ayahnya untuk berpikir secara logis, pantaskah benda mati yang tidak mendengar,
tidak melihat apalagi memberi pertolongan disembah?
Saudaraku,
Dalam surat Maryam ayat 44 – 45, Nabi Ibrahim AS telah mengulang lagi kata أبت (abati) dengan penuh penghormatan kepada sang
ayah. Setelah itu baru beliau melanjutkan lagi perkataannya dengan kata-kata
santun walaupun bapaknya adalah orang kafir.
Beliau memberitahu ayahnya bahwa
dirinya adalah seorang rasul yang diutus kepada kaumnya untuk menunjukkan
kepada jalan yang lurus. Nabi Ibrahim AS terus mengulang kata أبت (abati) sampai empat kali. Beliau sangat
berharap hati ayahnya dapat luluh mendengar ajakannya dan beriman kepada Allah SWT.
Saudaraku,
Terhadap dakwah yang disampaikan
dengan penuh rasa hormat dan santun oleh Nabi Ibrahim AS tersebut, ayah Nabi
Ibrahim AS malah menjawabnya dengan kata-kata yang kasar, keras dan mengancam.
Perhatikan penjelasan surat Maryam ayat 46 berikut ini:
قَالَ أَرَاغِبٌ
أَنتَ عَنْ ءَالِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِن لَّـمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ
وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا ﴿٤٦﴾
(46)
Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika
kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat
waktu yang lama". (QS. Maryam. 46).
Saudaraku,
Mendengar jawaban yang sangat
keras dan mengancam dari ayahnya yang kafir tersebut, beliau (Nabi Ibrahim AS)
tetap menjawabnya dengan kata-kata yang lembut dan santun. Perhatikan
penjelasan surat Maryam ayat 47 berikut ini:
قَالَ سَلَــــٰمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ
رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا ﴿٤٧﴾
(47) Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat
baik kepadaku”. (QS. Maryam. 47).
Saudaraku,
Meskipun ayahnya telah menjawab
dakwahnya dengan kata-kata yang kasar, keras bahkan disertai dengan ancaman,
beliau (Nabi Ibrahim AS) tetap memohonkan ampunan bagi ayahnya (memohon agar
Allah memberinya ampunan). Namun ketika ayahnya meninggal dalam keadaan tidak
beriman, beliaupun berhenti memohonkan ampunan bagi ayahnya.
وَمَا كَانَ ٱسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَن مَّوعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّأَ مِنهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيم ﴿١١٤﴾
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah)
untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah:
114).
Saudaraku,
Demikianlah kisah dakwah Nabi
Ibrahim AS kepada ayahnya yang tidak beriman, beliau tidak rela membiarkan
ayahnya dalam kesesatan dan kekafiran. Beliau menyadari bahwa mengajak ayahnya
untuk beriman adalah suatu kewajiban, namun kekafiran dan kesesatan ayahnya
bukan berarti alasan untuk berkata-kata kasar ataupun menghardiknya. Beliau tetap
berbakti kepada ayahnya dan berbicara dengannya dengan kata-kata yang
santun. (Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita).
Saudaraku,
Sebagai saudara seiman, tentu
saja saya sangat prihatin atas keadaan yang menimpa saudaraku beserta ananda
tercinta. Namun sebesar apapun kesalahan dan dosa seorang ayah, ia tetaplah
orangtua yang sah bagi ananda tercinta. Bahkan hak waris maupun hak kewalian-pun
tetap berlaku.
...
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
...”. (QS. An Nisaa’. 11).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو
داود)
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang
menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila
ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas
kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).
Sehingga
dengan mudah dapat dipahami, jika kebencian anak kepada ayahnya demikian
mendalam hingga menyebabkan anak tidak mau menikah dengan berwalikan ayah
kandungnya (sebagaimana yang telah saudaraku sampaikan via WhatsApp beberapa
waktu yang lalu), berdasarkan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud di atas, maka pernikahannya batal alias
tidak sah. Pernikahannya batal alias tidak sah, artinya jika ananda tercinta
berhubungan dengan pasangannya, maka hal ini akan dihukumi sebagai perbuatan
zina. Na’udzubillahi mindzalika!
Saudaraku,
Janganlah kebencian ananda tercinta kepada ayahnya mendorong
ananda tercinta melanggar hukum Allah. Sampaikan kepada ananda tercinta, bahwa
dia tidak perlu khawatir jika ayahnya ternyata punya itikad buruk dengan
bersikukuh untuk tidak merestui pernikahan ananda tercinta tanpa alasan yang
jelas, setelah saudaraku beserta ananda tercinta berupaya untuk memberikan
haknya sebagai wali nikah. Santai saja wahai saudaraku, karena Islam telah
memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan terburuk seperti ini.
Saudaraku,
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
di atas, maka penguasa (dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi
pernikahan), berhak untuk menjadi wali nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana
walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan
akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).
Penjelasan selengkapnya terkait hal ini bisa dibaca dalam
buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” Jilid
4, Bab 9, Sub-Bab 9.3. Menikah Dengan Wali Hakim Karena Benci Kepada Ayah (II), halaman
279 – 285.
Saudaraku,
Demikianlah
ketetapan Allah dan rasul-Nya, yang mana hal ini memang sangat
berat dilaksanakan jika memperturutkan hawa nafsu kita.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al
An’aam ayat 162 – 163 berikut ini:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰـــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
(162) “Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (163) “tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An’aam. 162
– 163).
Ya, apapun yang kita lakukan (shalat kita, ibadah kita,
hidup kita dan mati kita), semuanya haruslah kita niatkan hanya untuk Allah
semata. Dan sebagai konsekuensi logis dari hal ini, maka apapun yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya, maka sikap kita adalah: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (kami mendengar dan kami patuh). Artinya
apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, kita terima dan kita laksanakan
apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun. Perhatikan firman
Allah SWT. dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat 51:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى
اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami
patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An
Nuur. 51)
Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36, Allah
SWT. Telah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ
اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36)
Demikian penjelasan yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Tanggapan beliau:
Matursuwun Pak Imron atas tausiahnya. Nanti saya coba
pelan-pelan memberikan pengertian kepada anak-anak dengan dasar-dasar yang Pak Imron
berikan. Walaupun sakitnya masih kami rasakan, tetapi jika memang dalilnya kuat,
kami harus tunduk.
Berat menghadapi ini semua, tetapi demi anak-anak yang harus terus diayomi, ya kami harus kuat.
Alhamdulillah-nya masih ada sedikit sisa
harta yang
bisa kami pertahankan untuk pendidikan anak-anak, jadi anak-anak masih bisa tetap
sekolah/kuliah. Kami
hanya makhluk lemah Pak Imron,
kekuatan dan
kekuasaan hanya milik Allah.
Do'aku menyertai perjuangan
ibu.
Aamiiin ya Robb.
Matursuwun sanget
Pak Imron. Sekarang sudah lega tidak ada ganjalan lagi, tinggal
implementasinya saja. Sebenarnya lelah sekali Pak Imron, tapi ....
Inggih, Bu. Saya
bisa memaklumi.
Dan jika saya yang harus
menerima cobaan serupa, belum tentu saya bisa sekuat ibu beserta ananda
tercinta.
Demikian dialog ini,
Semoga bermanfaat.
NB.
Sebenarnya dalam menanggapi kasus-kasus seperti ini, akan
lebih baik jika bisa diperoleh informasi dari kedua belah pihak (dari pihak
saudaraku/ananda tercinta serta dari pihak mantan suami) sehingga bisa
diperoleh solusi yang lebih baik.