Assalamu’alaikum wr. wb.
Mas Fulan yang Nasrani (nama
samaran/mahasiswa Jurusan Teknik Industri Universitas Trunojoyo Madura) telah memberi komentar terhadap artikel yang
berjudul “Benarkah
Non-Muslim Itu Bukan Kafir?
(I)” dengan komentar sebagai berikut: “Oh
seperti itu, ya Pak?
Berarti Nasrani kafir, ya
Pak?”
TANGGAPAN
Benar, bahwa Nasrani itu (serta semua orang yang menutup diri/tidak mau menerima Islam sebagai
agamanya) adalah kafir. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam beberapa ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ
بِالْحَقِّ مِن رَّبِّكُمْ فَئَامِنُواْ خَيْرًا لَّكُمْ وَإِن تَكْفُرُواْ
فَإِنَّ لِلّٰهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا ﴿١٧٠﴾
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad)
itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu,
itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak
merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi
itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. An Nisaa’. 170).
... وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْاٰخِرَةِ مِنَ الْـخٰسِرِينَ ﴿٥﴾
“... Dan barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi”. (QS. Al Maa-idah. 5).
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَــــٰـبِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ ﴿١﴾
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata, (QS. Al Bayyinah. 1).
Sedangkan Al Qur’an itu sendiri adalah kitab suci umat
Islam, yang menurut keyakinan orang Islam, Al Qur’an itu sama sekali bukan
ditulis oleh manusia. Al Qur’an itu redaksi dan maknanya langsung dari Allah
SWT., yang Allah turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melalui malaikat Jibril.
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَـــٰـلَمِينَ ﴿١٩٢﴾
”Dan sesungguhnya Al Qur'an
ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”, (QS. Asy Syu’araa’. 192).
قُلْ أَنزَلَهُ الَّذِي يَعْلَمُ السِّرَّ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٦﴾
”Katakanlah: "Al Qur'an
itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Furqaan. 6).
وَمَا كَانَ هَـذَا الْقُرْآنُ أَن يُفْتَرَىٰ مِن دُونِ اللهِ وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ
يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٣٧﴾
“Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah;
akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan
menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya*, tidak ada keraguan di
dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam”. (QS. Yunus. 37). *) Maksudnya:
Al Qur’an itu menjelaskan secara terperinci hukum-hukum yang telah disebutkan
dalam Al Qur’an itu pula.
Sekali lagi kusampaikan bahwa Al Qur’an itu sendiri
adalah kitab suci umat Islam, yang menurut keyakinan orang Islam, Al Qur’an itu
sama sekali bukan ditulis oleh manusia. Al Qur’an itu redaksi dan maknanya
langsung dari Allah SWT. (Al Qur'an itu benar-benar datang dari Allah SWT.),
Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang karenanya kebenaran Al Qur’an
adalah mutlak (tidak ada sedikitpun keraguan pada kitab suci Al
Qur'an).
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 12).
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
﴿٢﴾
“Kitab (Al
Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,”
(QS. Al
Baqarah. 2).
Di sisi
lain, ilmu pengetahuan yang kita miliki ternyata sangatlah terbatas. Demikian
penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Israa’ ayat 85 berikut ini:
... وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
Nah, karena Al Qur'an itu benar-benar datang dari Allah (Tuhan
yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu) yang karenanya kebenaran Al Qur’an
adalah mutlak, sedangkan ilmu pengetahuan yang kita miliki ternyata sangatlah
terbatas, maka sungguh sangat tidak layak jika kita mengamandemen Al Qur’an.
Dan karena Al Qur'an itu benar-benar datang dari Allah (Tuhan
yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu) yang karenanya kebenaran Al Qur’an
adalah mutlak, sedangkan ilmu pengetahuan yang kita miliki ternyata sangatlah
terbatas, maka apapun yang ada/yang terdapat dalam Al Qur'an, kita terima dan kita
laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.
Allah SWT. telah berfirman dalam Al Qur’an surat An Nuur
ayat 51:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى
اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nuur. 51)
Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36, Allah
SWT. juga telah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ
اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36)
ISTILAH KAFIR TIDAK BERKONOTASI NEGATIF
Kata
kafir sebenarnya bersifat netral. Tidak berkonotasi negatif atau positif. Kata
ini berasal dari bahasa Arab “kufur” yang artinya “menutup”.
Pada
masa dahulu, istilah kufur digunakan
untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, yang kemudian menutupnya
(kufur) dengan tanah. Oleh sebab itulah petani disebut juga sebagai “kuffar”
(bentuk jamak dari kafir).
Dalam
bahasa Inggris kita juga mengenal istilah “cover” yang artinya menutupi, tutup atau sampul. Menurut Prof. Dr. KH. M. Roem
Rowi, MA. (ahli tafsir Al Qur’an/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan
Ampel Surabaya; S1 Universitas Islam Madinah,
S2 – S3 Universitas Al-Azhar) yang beliau sampaikan saat menyampaikan kajian
rutin ba’da Maghrib di Masjid Al Falah Surabaya, kata
“cover” diserap dari Bahasa Arab
yang artinya menutup.
Sedangkan secara syar’i (menurut syariat Islam), orang kafir
adalah orang yang mengingkari Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah dan mengingkari Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai utusan-Nya. Untuk makna secara syar’i ini, tentu saja hanya milik
Islam.
Sehingga dari uraian di atas,
dengan mudah dapat disimpulkan bahwa kafir bukanlah suatu kata yang dimaksudkan
untuk menghina atau melecehkan agama apapun, baik secara eksplisit maupun
implisit. Terlebih lagi memang ada larangan untuk menjadikannya
(menjadikan kata “kafir” tersebut) sebagai panggilan untuk mengolok-olok mereka
yang non-muslim. Apalagi jika panggilan kafir tersebut ditujukan kepada sesama
kaum muslimin sebagai olok-olok (tentunya lebih dilarang lagi memanggil saudara
sesama muslim dengan panggilan kafir sebagai olok-olok).
... وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
... ﴿١١﴾
“...dan janganlah kamu panggil memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. ...”. (QS. Al Hujuraat. 11).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “... (dan janganlah kalian panggil-memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk) yaitu janganlah sebagian di antara kalian
memanggil sebagian yang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara
lain seperti: hai orang fasik, atau hai orang kafir. ...”.
Bahkan sebenarnya istilah kafir tersebut adalah istilah
yang halus. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Kaafiruun ayat 1
berikut ini:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, (QS. Al Kaafiruun. 1).
Dalam ayat pertama surat Al
Kaafiruun di atas yang artinya adalah: (Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir”),
hal ini sama saja dengan mengatakan: “Wahai orang-orang yang menutup diri dari
kebenaran Agama Islam”, atau sama saja dengan mengatakan: “Wahai orang-orang
yang tidak mengakui Allah SWT. sebagai
satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan mengingkari Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya”.
UNTUKMU AGAMAMU DAN UNTUKKU AGAMAKU
Secara syar’i (menurut syariat Islam), orang kafir adalah
orang yang mengingkari Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah
dan mengingkari Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
utusan-Nya. Untuk makna secara syar’i ini, tentu saja hanya milik Islam.
Dengan kata lain, istilah kafir (secara syar’i) adalah
istilah internal dalam Agama Islam (kafir adalah istilah dalam Agama Islam
untuk membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman) yang mana
umat beragama lain tidak boleh ikut campur di dalamnya. Sebagaimana halnya
dengan orang di luar Agama Nasrani yang menurut keyakinan umat Nasrani disebut
sebagai “domba yang tersesat”, maka dalam hal ini umat beragama lain (selain
Nasrani) juga tidak boleh ikut campur di dalamnya. Terkait hal ini, yang
menjadi acuan bagi umat Islam adalah Al Qur’an surat Al Kaafiruun ayat 6 berikut ini:
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. Al Kaafiruun: 6).
Jadi, dalam urusan aqidah/keyakinan, biarlah semuanya berjalan
sendiri-sendiri, sesuai dengan keyakinan masing-masing (tidak boleh ada intervensi/campur tangan dari pihak lain). Yang artinya adalah bahwa dalam
urusan aqidah/keyakinan, harus ada batas pemisah yang jelas
antara yang muslim dengan yang non-muslim.
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar