Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini perbincangan yang terjadi di sebuah grup WhatsApp:
Mbak SS:
Dulu sekali ada keluarga muda, petani yang hidup pas-pasan
mendekati kurang/tetangga kontrakan, hanya lulusan SD, bercerita/curhat tentang
rutinitas hidup sehari-hari. Sudah jenuh, lelah tetapi tetap sempit, ingin sedekah
barang atau uang saja tidak bisa. Dia menghibur diri dengan meniati semua yang
dia kerjakan dengan niat ibadah (misal:
niat nyuci dan
memasakkan anak & suami untuk beribadah karena Allah).
Terus terang ini pelajaran
pertamaku saat baru menikah
dahulu. Lha sekarang
jadi lebih mantap karena dari Pak Imron. Juga teman-teman yang lain yang sudi
berbagi ilmu di sini.
Mbak WK:
Kalau saya agak kebalikan, nich. Duluu sadar
banget dihati tentang berbakti ke suami. Perjalanan waktu... stress
diganggu sms-sms/telepon-telepon siluman. Terus muncul sakit.
Kadang judes galak muncul marah
(bawaan sakit juga mungkin). Lanjutannya
kadang muncul o'on/linglung. Asal
jalani saja, nggak ngerti hitungan
ibadah/pahala, yang penting
mengutamakan suami. Tapi kalau pas stabil, nggak stress dan sakit berkurang, jadi ingat lagi tentang
ilmu ibadah/berbakti. On-off kepala ini.
‘Nilainya’ hanya Allah
yang
bisa memberi dengan pas, Allah tahu apa yang terjadi
sesungguhnya. Dan semua ada dalam kuasa Allah. Gitu
itu yang
saya yakini, baik
saat on maupun off kepala + kesehatan
ini.
TANGGAPAN UNTUK MBAK SS
Saudaraku,
Sesungguhnya tidak ada satupun
yang sia-sia, selama semuanya itu kita niatkan hanya karena Allah semata.
Bahkan untuk hal-hal yang kita pandang sebagai rutinitas hidup sehari-hari
sekalipun.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
﴿٥٦﴾
”Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzaariyaat. 56).
وَأَنِ اعْبُدُونِي هَــٰــذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ ﴿٦١﴾
”dan hendaklah kamu
menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus”. (QS. Yaa Siin. 61).
Saudaraku,
Dari dua ayat tersebut, dengan
sangat jelas kita telah diberitahu langsung oleh Allah, bahwa sesungguhnya
Allah tidak menciptakan kita (termasuk jin) melainkan supaya kita semuanya
beribadah/untuk
menyembah Allah. Karena hanya inilah satu-satunya jalan yang lurus.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)". (QS. Al An’aam. 162 – 163).
Saudaraku,
Jika semua aktivitas/kegiatan
tersebut beliau lakukan karena Allah semata, jika semua aktivitas/kegiatan
tersebut beliau lakukan karena mencari keridhaan-Nya, tentunya
hal itu tidak akan sia-sia. Bahkan beliau akan mendapatkan
tempat kesudahan yang baik, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ar
Ra’d ayat 22 – 24 berikut ini:
وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
وَأَقَامُواْ الصَّلَاةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقْنَــٰـهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَؤُونَ بِالْحَسَنَةِ
السَّيِّئَةَ أُوْلَـــٰــئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ ﴿٢٢﴾
“Dan orang-orang yang sabar
karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan
serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik)”, (QS. Ar Ra’d. 22).
جَنَّـــٰتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ
وَذُرِّيَّـــــٰــتِهِمْ وَالْمَلَـــٰــئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾
“(yaitu) surga `Adn yang
mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari
bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat
masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu”; (QS. Ar Ra’d. 23).
سَلَـــٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ ﴿٢٤﴾
“(sambil mengucapkan):
"Salamun `alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat
kesudahan itu”. (QS. Ar Ra’d. 24). "Salamun `alaikum bima shabartum"
artinya: “Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu”.
Saudaraku
mengatakan bahwa keluarga petani yang hidup pas-pasan tersebut hidupnya sempit sehingga ingin
sedekah barang atau uang saja tidak bisa.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sedekah (Bahasa
Indonesia) itu berasal dari kata shodaqoh (Bahasa Arab = صدقة) yang berarti “benar”. Sehingga orang yang suka bersedekah
adalah orang yang benar pengakuan imannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا
النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ. (رواه البخارى ومسلم)
“Takutlah dari siksa neraka meskipun hanya (bersedekah)
dengan separuh kurma.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Saudaraku,
Sedekah itu sendiri dalam
beberapa dalil digunakan untuk menyebut segala bentuk amal baik yang berguna
bagi orang lain maupun bagi diri sendiri.
Pada suatu hari, sekelompok sahabat yang miskin mengadu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal rasa cemburu mereka
terhadap orang-orang yang kaya. Orang-orang kaya mampu mengamalkan sesuatu yang
tidak kuasa mereka kerjakan, yaitu menyedekahkan harta yang melebihi kebutuhan
mereka. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut
ini:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالْأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا
نُصَلِّي وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ.
قَالَ: أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ بِهِ؟ إِنَّ
بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ
تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ
صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ.
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنَ لَهُ
فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ
فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Wahai Rasulullah, orang-orang
yang berharta telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami
shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Mereka bisa bersedekah
dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak punya apa-apa untuk
disedekahkan)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah
telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian sedekahkan? Sungguh setiap
tasbih itu sedekah. Setiap takbir adalah sedekah. Setiap tahmid merupakan
sedekah. Demikian pula setiap tahlil adalah sedekah. Amar ma’ruf itu sedekah.
Nahi mungkar juga sedekah. Bahkan pada kemaluan kalian (atau jima yang kalian
lakukan dengan istri) ada sedekah.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
salah seorang dari kami memuaskan syahwatnya lalu ia mendapatkan pahala?”
Beliau menjawab, “Apa pendapat kalian andai ia meletakkan kemaluannya pada yang
haram, apakah ia berdosa? Demikian pula apabila ia meletakkan kemaluannya pada
yang halal, ia akan beroleh pahala.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu)
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas,
nampaklah bahwa sedekah itu tidak terbatas pada pemberian yang bersifat
material saja, tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang
lain maupun bagi diri sendiri. Bahkan
senyuman yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain-pun, termasuk kategori sedekah.
Jadi sedekah itu
mempunyai cakupan yang sangat luas. Sehingga tidak alasan bagi keluarga petani yang hidup pas-pasan tersebut untuk tidak
bersedekah.
TANGGAPAN UNTUK MBAK WK
Saudaraku yang dicintai Allah,
Membaca pesan yang saudaraku
sampaikan di atas,
seolah tak percaya akan kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam menghadapi
cobaan yang teramat berat ini. Semoga kesabaran dan ketabahan saudaraku
tersebut, dilihat oleh Allah SWT. sebagai
amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya
rabbal ‘alamin!
Saudaraku,
Dalam
surat Al ‘Ankabuut ayat 2 – 3, diperoleh penjelasan bahwa tidaklah
seseorang itu menyatakan telah beriman, kecuali akan Allah berikan ujian
kepadanya sehingga bisa dibedakan antara orang-orang yang benar dalam
keimanan mereka dengan orang-orang yang dusta dalam keimanannya (dan Allah
adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui).
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿٣﴾
(2) Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (3) Dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS.
Al ‘Ankabuut. 2 – 3).
Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(2) (Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
saja mengatakan) mengenai ucapan mereka yang mengatakan, ("Kami telah
beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?) diuji lebih dulu dengan
hal-hal yang akan menampakkan hakikat keimanan mereka. Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang-orang yang masuk Islam, kemudian mereka disiksa oleh
orang-orang musyrik.
(3) (Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar) di dalam
keimanan mereka dengan pengetahuan yang menyaksikan (dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta) di dalam keimanannya. (QS. Al
‘Ankabuut. 2 – 3).
Bahkan beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul,
orang-orang yang shiddiq (jujur keimanannya), para syuhada (yang mati
syahid), serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan yang beriman, yang mulia
disisi-Nya.
أَمْ حَسِبْتُمْ
أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم
مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَآءُ وَالضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللهِ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ ﴿٢١٤﴾
“Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. Al Baqarah. 214).
Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
Ayat berikut
diturunkan mengenai susah payah yang menimpa kaum muslimin: (Ataukah),
maksudnya apakah (kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga. Padahal belum)
maksudnya belum (datang kepadamu seperti) yang datang (kepada orang-orang yang
terdahulu sebelum kamu) di antara orang-orang beriman berupa bermacam-macam
cobaan, lalu kamu bersabar sebagaimana mereka bersabar? (Mereka ditimpa oleh);
kalimat ini menjelaskan perkataan yang sebelumnya (malapetaka), maksudnya
kemiskinan yang memuncak, (kesengsaraan) maksudnya penyakit, (dan mereka
diguncang) atau dikejutkan oleh bermacam-macam bala, (hingga berkatalah) baris
di atas atau di depan artinya telah bersabda (Rasul dan orang-orang yang
beriman yang bersamanya) yang menganggap terlambatnya datang bantuan disebabkan
memuncaknya kesengsaraan yang menimpa mereka, ("Bilakah) datangnya
(pertolongan Allah) yang telah dijanjikan kepada kami?" Lalu mereka
mendapat jawaban dari Allah, ("Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat") kedatangannya. (QS. Al Baqarah. 214).
Saudaraku,
Nampaklah sekarang, bahwa ternyata saudaraku tidaklah
sendiri. Karena ternyata beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul,
orang-orang yang shiddiq, para syuhada, serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan
yang beriman, yang bahkan jika kita mau jujur,
beragam cobaan yang menimpa saudaraku (dan juga kita semua) tidaklah bisa
dibandingkan dengan ujian yang menimpa mereka orang-orang yang mulia disisi-Nya.
Jika sudah demikian (dengan
melihat fakta-fakta di atas), semoga saudaraku akan bisa lebih tegar dalam menghadapi
cobaan yang teramat berat ini, sehingga semangat hidup-pun dapat
tumbuh kembali.
Lebih dari itu, ketahuilah bahwa adanya cobaan yang
teramat berat yang menimpa saudaraku tersebut, hal ini justru menunjukkan betapa Allah teramat sayang kepada saudaraku
karena Allah telah menghendaki kebaikan
bagi saudaraku.
Saudaraku,
Adakah yang lebih beruntung
daripada orang yang Allah kehendaki kebaikan bagi dirinya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ. (رواه البخارى)
“Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR.
Al Bukhari(.
Disamping itu semua, jika pada saat ini saudaraku ditimpa
cobaan yang teramat berat, maka ketahuilah bahwa hal ini sekaligus juga
menunjukkan betapa kuatnya agama saudaraku. Mengapa demikian?
Karena seseorang itu akan diberi cobaan oleh Allah SWT. sesuai
dengan keadaan agamanya. Jika
agamanya kuat, Allah SWT. akan berikan kepadanya cobaan yang berat. Sedangkan jika agamanya masih
lemah, ia juga akan
diuji sesuai dengan agamanya. Sehingga jika pada saat ini saudaraku ditimpa cobaan
yang teramat berat, hal ini sekaligus juga menunjukkan betapa kuatnya agama
saudaraku.
وَأَيُّ
النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ
فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ
صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ
يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang
semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan keadaan
agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika agamanya masih lemah,
ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah cobaan itu senantiasa menimpa
seorang hamba sampai ia meninggalkan si hamba berjalan di muka bumi tanpa ada
dosa padanya.” (HR. At-Tirmidzi,
hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya).
Berbahagialah engkau wahai saudaraku, karena dalam hal
ini bukan aku yang menilai, namun yang menilai adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (baca kembali hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di
atas).
Sedangkan segala yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (termasuk dalam hal ini), tidak lain adalah wahyu semata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkata-kata tidaklah mengikuti
hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ
الصُّمُّ الدُّعَاءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang
yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al
Anbiyaa’. 45).
Saudaraku,
Terkait cobaan yang teramat berat yang menimpa saudaraku
tersebut, perhatikan pula penjelasan Allah dalam surat Al Baqarah ayat 286 berikut ini:
لَا يُكَلِّفُ
اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”.
(QS. Al Baqarah ayat 286).
Berdasarkan ayat tersebut,
sebenarnya kita juga bisa berpikir dari arah sebaliknya. Artinya, ayat tersebut
sebenarnya juga menunjukkan bahwa seberat apapun
beban hidup yang saat ini sedang mendera kita, pasti Allah telah siapkan bekal
kepada kita untuk menghadapinya. Bukankah: ”Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya?”
Dengan demikian, jika pada
saat ini saudaraku sedang mendapati adanya cobaan yang teramat berat, masalah
demi masalah yang datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan yang seolah datang tiada henti,
maka tidak sepantasnya bagi saudaraku (dan juga bagi kita semua)
untuk mengeluhkannya. Karena dalam hal ini, pasti Allah telah siapkan bekal
kepada kita untuk menghadapinya.
Dengan kata lain, jika pada
saat ini saudaraku sedang mendapati adanya cobaan yang teramat berat, masalah
demi masalah yang datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan yang seolah datang tiada henti,
maka hal itu semua justru sebagai pertanda bahwa Allah SWT.
hendak memberikan kebaikan/nikmat/kekuatan/kemudahan/rezeki kepada saudaraku.
Jadi, ketika cobaan datang secara
bertubi-tubi, masalah demi masalah juga datang
silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan seolah datang tiada henti, maka
seharusnya kita justru bertanya:
√ Ya
Allah, nikmat apa lagi yang hendak Engkau berikan kepada kami, sedangkan
tanda-tandanya sudah nampak jelas di depan mata?
√ Ya
Allah, kemudahan apa lagi yang hendak Engkau berikan kepada kami, sedangkan
tanda-tandanya sudah begitu jelas di depan mata?
√ Ya
Allah, rezeki apa lagi yang hendak Engkau anugerahkan kepada kami, sedangkan
tanda-tandanya sudah sangat jelas di depan mata?
√ Ya
Allah, ..., dst.
Saudaraku,
Jika cara berpikir kita
seperti ini, tentunya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk mengeluh,
bagaimanapun situasi/kondisi yang sedang kita hadapi. Yang terjadi justru
sebaliknya. Apalagi jika hal ini kita kaitkan dengan salah satu hadits qudsi dimana Ahmad, Ibn Majah dan Albaihaqi meriwayatkan,
bahwa Allah berfirman: “Aku selalu mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.
Jika ia berprasangka baik, maka untung baginya. Dan jika berprasangka buruk,
maka ia akan terkena bahayanya”.
Oleh
karena itu, jadilah mukmin yang kuat (dalam menjalani beragam ujian yang sedang
menimpa), karena mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih disukai oleh
Allah daripada orang mukmin yang lemah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَلَا تَعْجِزْ فَإِنْ غَلَبَكَ أَمْرٌ فَقُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا
شَاءَ فَعَلَ وَإِيَّاكَ وَاللَّوْ فَإِنَّ اللَّوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
(رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu sampai kepadanya berita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada
orang mukmin yang lemah. Dan dalam masing-masing (sifat itu) terdapat kebaikan.
Maka bersungguh-sungguhlah kamu terhadap sesuatu yang bermanfaat, dan janganlah
merasa lemah. Jika suatu perkara mengalahkanmu, maka katakanlah, 'Ketentuan
(qadar) Allah (telah menentukan), dan apa yang Allah kehendaki, tentu Dia akan
melaksanakannya.' Dan jauhkanlah ucapan, "Seandainya." Karena ucapan,
"Seandainya," membuka (peluang) pekerjaan syetan." (HR. Ibnu Majah(.
وَاصْبِرْ
نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ
وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ
أَمْرُهُ فُرُطًا ﴿٢٨﴾
“Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.
(QS. Al Kahfi. 28).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar