Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman
sekolah di Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
“Pak Imron, aku mau tanya. Karena suamiku sudah meninggal, bisakah dari penjualan rumah ini
sebagian hasilnya disalurkan ke yayasan yatim piatu dan pembangunan masjid
dengan niat buat almarhum? Apakah sampai amal jariyahnya ke almarhum suami?”.
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk
membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
Saudaraku,
Terkait masalah yang
saudaraku tanyakan tersebut, ketahuilah bahwa bersedekah atas nama orang yang sudah wafat merupakan masalah yang menjadi perselisihan diantara para ‘ulama’. Terkait
hal ini, ada
dua pendapat di kalangan para ‘ulama’:
1. Bersedekah
atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya sehingga orang yang
sudah wafat tersebut akan memperoleh manfaat dari sedekah
tersebut.
2. Bersedekah
atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya tidak akan sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut juga tidak akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.
Berikut ini pembahasan kedua pendapat di atas secara
lebih terperinci lengkap dengan dalil-dalil yang mendasarinya:
1. Bersedekah
atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya sehingga orang yang
sudah wafat tersebut akan memperoleh manfaat dari sedekah
tersebut.
Saudaraku,
Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai
kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut juga akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut. Di antara dalil tegas dalam
masalah ini adalah hadits
dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ
وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara
mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu,
maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq
'Alaih).
Dalam hadits yang lain, dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu diperoleh penjelasan sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ
فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Seorang
laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia, apakah
berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Iya" Laki-laki
tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun yang sedang berbuah dan aku
ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah menyedekahkan kebun tersebut untuk
ibuku." (Shahih: Bukhari).
Sedangkan dalam hadits yang lainnya
lagi (juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu), diperoleh penjelasan sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي
مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.
(رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan
kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq
memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan
kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki
bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah
bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang
itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan
kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu
Daud
dan At-Tirmidzi).
Berikut ini aku kutibkan
keterangan yang terdapat dalam Kitab Shahih Sunan Tirmidzi:
Abu Isa berkata: “Hadits ini
hasan”. Dalam masalah ini para ‘ulama’ mempunyai pendapat: “Tidak ada sesuatu
yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia kecuali sedekah dan doa”.
Sebagian ‘ulama’ meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Dinar, dari Ikrimah, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal*). Ia berkata:
“Makna makhrafan adalah kebun”.
Saudaraku,
Hadits-hadits di atas menjadi
dalil bahwa pahala sedekah atas nama orang yang sudah wafat
itu bisa sampai kepada yang bersangkutan. Bahkan kata Imam Nawawi bahwa pahala
sedekah ini bisa sampai kepada orang yang sudah wafat
dengan sepakat ‘ulama’. (Syarh Shahih Muslim, 7: 90).
Dalam penjelasan yang lain, Imam
Syafi’i dalam Kitab Al Umm juga mengatakan bahwa ada tiga perkara yang
pahalanya akan sampai kepada orang yang meninggal, salah satunya adalah
sedekahnya orang hidup terhadap mayit.
“صَدَقَةُ
الْحَيِّ عن الْمَيِّتِ” أخبرنا الرَّبِيعُ بن سُلَيْمَانَ قال حدثنا
الشَّافِعِيُّ إمْلَاءً قال يَلْحَقُ الْمَيِّتَ من فِعْلِ غَيْرِهِ وَعَمَلِهِ
ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى عنه وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عنه أو يُقْضَى وَدُعَاءٌ
فَأَمَّا ما سِوَى ذلك من صَلَاةٍ أو صِيَامٍ فَهُوَ لِفَاعِلِهِ دُونَ الْمَيِّتِ.
“Sedekahnya
orang hidup terhadap mayit (bemanfaat untuknya/sampai kepadanya).” Meriwayatkan
kepada kita ar-Robi’ Sulaiman, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kita Imam
as-Syafi’i di dalam kitab Imla’, beliau berkata: Terdapat tiga perkara yang
sampai kepada mayit dari pekerjaan orang lain, yaitu: haji yang dilakukan untuk
mayit, harta yang disedekahkan untuknya, dan do’a”. (Al Umm juz 4, halaman 120).
Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, diperoleh penjelasan
sebagai berikut:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا
مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
“dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS.
An-Najm: 39).
Yaitu sebagaimana tidak
dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh
pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan ayat ini Imam
Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur'an yang
dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal
perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal
ini, tidak memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka
petunjuk kepadanya, baik melalui nash hadits maupun makna yang tersirat
darinya. Hal ini tidak pernah pula dinukil dari seseorang dari para sahabat
yang melakukannya. Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur’an untuk mayat) merupakan
hal yang baik, tentulah kita pun menggalakkannya dan berlomba melakukannya.
Pembahasan mengenai amal
taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang digariskan oleh nash-nash
syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam hukum analogi dan
pendapat manapun. Akan tetapi, berkenaan dengan do’a dan sedekah (yang pahalanya
dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para ulama, bahwa
pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nash dari syariat yang
menyatakannya. (Tafsir Ibnu Katsir).
2. Bersedekah
atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya tidak akan sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut juga tidak akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.
Saudaraku,
Ketahuilah
bahwa pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang
menjadi kewajiban kita itu, harus kita sendiri yang melaksanakannya. Harus
kita sendiri yang melaksanakannya, artinya tidak bisa diwakilkan/tidak
bisa diwakili oleh orang lain/tidak bisa dikerjakan oleh orang lain.
Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Najm
ayat 39 – 41 berikut ini:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(39) dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna, (QS. An Najm. 38 – 41).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(39) (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang
sesungguhnya itu ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia
tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang
lain. (40) (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di
akhirat. (41) (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata,
Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan
terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan
kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il
Lazim. (QS. An Najm. 38 – 41).
Sedangkan dalam tiga buah hadits di bawah ini, diperoleh
penjelasan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ
وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara
mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu,
maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq
'Alaih).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ
لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Seorang
laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia, apakah
berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Iya" Laki-laki
tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun yang sedang berbuah dan aku
ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah menyedekahkan kebun tersebut untuk
ibuku." (Shahih: Bukhari)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي
مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.
(رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan
kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq
memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan
kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki
bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah
bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang
itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan
kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu
Daud
dan At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa sedekah dari anak
itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat meski tanpa
adanya wasiat dari keduanya, dan pahalanya-pun juga akan sampai kepada
kedua-nya.
Namun yang perlu digaris-bawahi
adalah bahwa dalam ketiga hadits di atas, hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua
orang tuanya. Terlebih lagi telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil usaha orang-tuanya sebagaimana penjelasan hadits
berikut ini:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa
yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan
sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi,
an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, bahwa
dalam ketiga hadits di atas, hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada
kedua orang tuanya. Dan telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan
hasil usaha orang-tuanya sehingga tidak perlu lagi mendakwa ayat di atas
dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Sedangkan yang selain dari anak, maka
pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia.
Hal ini mengandung makna bahwa
ayat Al Qur`an dalam surat An Najm (yaitu ayat 39) berikut ini:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya”. (QS. An Najm. 39), tetap dengan keumumannya. Sedangkan pahala sedekah dari seorang anak kepada
kedua orang tuanya tetap sampai, karena anak adalah hasil dari usaha orang
tuanya, berbeda dengan selain anak.
Sekali lagi kusampaikan, hal ini
mengandung makna bahwa ayat Al Qur`an dalam surat An Najm
(yaitu ayat 39) di atas, tetap dengan keumumannya.
Sedangkan pahala sedekah dari seorang anak kepada kedua orang tuanya tetap
sampai, karena anak adalah hasil dari usaha orang tuanya, berbeda dengan selain
anak. (Wallahu a'lam).
♦ Sikap kita dalam menghadapi perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama'
Saudaraku,
Untuk masalah-masalah fiqih seperti ini, memang tidak
jarang dijumpai terjadinya perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama'. Kita
tidak perlu terlalu larut pada masalah-masalah khilafiyah seperti ini (juga
masalah-masalah khilafiyah yang lain, seperti masalah do'a qunut pada sholat
subuh, perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, dll).
Selama perbedaan pendapat
tersebut bukan menyangkut pokok-pokok ajaran Islam, maka langkah terbaik adalah
saling menghormati perbedaan itu. Menghadapi hal ini, maka sikap kita adalah: mengambil
satu pendapat yang kita condong kepadanya, kemudian tidak serta-merta
menyalahkan pendapat yang lain.
Kita harus lebih mengedepankan
persatuan umat, sehingga kita tidak sampai terpecah-belah
karenanya. Jika kita sampai terpecah belah, maka yang akan mereguk keuntungan
adalah musuh-musuh Islam. Na’udzubillahi mindzalika!
وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا
تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ ﴿٧٣﴾
“Adapun orang-orang yang
kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu
(hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu**),
niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al
Anfaal. 73).
Namun jika perbedaan pendapat
tersebut menyangkut pokok-pokok ajaran Islam, seperti: adanya segolongan orang
Islam yang mengatakan bahwa sholat wajib itu hanya tiga waktu, atau meyakini
bahwa puasa Ramadhan itu tidak wajib, atau membolehkan sholat
dengan menggunakan Bahasa Indonesia, atau mengakui ada nabi lagi sesudah Nabi
Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, atau
membolehkan pelaksanaan ibadah haji pada bulan apapun sepanjang tahun, atau
memandang zakat itu hanyalah sebagai ibadah sunat saja, atau meyakini bahwa Allah itu mempunyai anak,
dll., maka untuk kasus-kasus seperti ini adalah tugas kita bersama untuk
meluruskannya.
♦ Bersedekah
atas nama orang-tua yang
sudah wafat
Saudaraku,
Jika bersedekah atas nama orang lain yang sudah wafat merupakan masalah yang menjadi
perselisihan para ‘ulama’, tidak demikian halnya dengan bersedekah atas nama orang tua yang sudah wafat. Terkait hal ini (yaitu bersedekah atas nama orang tua
yang sudah wafat) tidak ada perselisihan para
‘ulama’.
Semua ‘ulama’ sepakat bahwa
bersedekah atas nama orang tua yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepada kedua orang tua sehingga orang tua yang sudah wafat akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.
Hal ini didasarkan kepada ketiga
hadits di atas (yaitu hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha serta hadits dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu) yang secara eksplisit memang menjelaskan
sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya (ketiga hadits tersebut secara
tegas, gamblang, tidak tersembunyi, tidak bertele-tele,
tersurat, jelas dan tidak mempunyai gambaran makna yang kabur dalam berbagai
hal, memang menjelaskan sampainya
sedekah anak kepada kedua orang tuanya).
♦ Penjelasan tambahan
Saudaraku,
Untuk menjawab pertanyaan: “Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya atau tidak?”, kita
memerlukan informasi yang benar, akurat dan meyakinkan karena hal ini adalah
permasalahan ghaib yang mustahil untuk kita ketahui kecuali hanya jika
diberitakan oleh satu-satunya pihak yang mengetahui rahasia alam ghaib, yakni
Allah Ta`ala.
Sekali lagi kusampaikan, bahwa bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya atau tidak, hal ini merupakan
perkara ghaib yang hakikatnya hanya diketahui Allah saja. Dan Allah tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu,
kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Demikian penjelasan Allah dalam
surat Al Jin ayat
26 – 28:
عَــٰـلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ
وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا ﴿٢٧﴾ لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَـــٰــلَـــٰـتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا ﴿٢٨﴾
(26) “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka
Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”. (27)
“Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (28) Supaya Dia
mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan
risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada
pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (QS. Al Jin. 26 –
28).
Tafsir Ibnu Katsir:
عَــٰـلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ
عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ ... ﴿٢٧﴾
(26) “(Dia adalah Tuhan) Yang
Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang
yang ghaib itu”. (27) “Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, ...”. (QS. Al
Jin. 26 – 27).
Ayat ini semakna dengan apa
yang disebutkan oleh firman-Nya:
... وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ
عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ... ﴿٢٥٥﴾
“... dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya...”.
(Al-Baqarah: 255)
Demikian pula disebutkan dalam
surat ini bahwa sesungguhnya Dia mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, dan
sesungguhnya Dia tidak memperlihatkan sesuatu pun dari ilmu-Nya kepada
seseorang dari makhluk-Nya kecuali sebatas apa yang diperlihatkan oleh Dia
kepadanya. Karena itu, maka disebutkan dalam firman-Nya: “(Dia adalah
Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya,
...”. (QS. Al Jin. 26 – 27). Hal ini mencakup utusan dari kalangan manusia dan
malaikat.
Kemudian dalam firman
berikutnya disebutkan:
... فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
﴿٢٧﴾
“... maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (QS. Al
Jin. 27).
Yakni Allah memberikan
kekhususan kepadanya dengan kawalan para malaikat yang menjaganya atas perintah
dari Allah SWT. Para malaikat itu mengawal dia berikut wahyu Allah yang ada
padanya. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَـــٰــلَـــٰـتِ
رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا ﴿٢٨﴾
Supaya Dia mengetahui, bahwa
sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya,
sedangkan (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia
menghitung segala sesuatu satu per satu. (QS. Al Jin. 28).
. . . . .
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon maaf jika ada kekurangan/kesalahan, hal ini
semata-mata karena keterbatasan ilmuku***).
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Hadits mursal adalah hadits yang di akhir
sanad yaitu di atas tabi’in terputus.
**) Yang
dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu; adalah keharusan adanya
persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin.
***) Bagaimanapun sampai
saat ini aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.