بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Jumat, 03 September 2021

BERSEDEKAH ATAS NAMA SUAMI YANG SUDAH WAFAT


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (teman sekolah di Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, aku mau tanya. Karena suamiku sudah meninggal, bisakah dari penjualan rumah ini sebagian hasilnya disalurkan ke yayasan yatim piatu dan pembangunan masjid dengan niat buat almarhum? Apakah sampai amal jariyahnya ke almarhum suami?”.

Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.

Saudaraku,
Terkait masalah yang saudaraku tanyakan tersebut, ketahuilah bahwa bersedekah atas nama orang yang sudah wafat merupakan masalah yang menjadi perselisihan diantara para ‘ulama’. Terkait hal ini, ada dua pendapat di kalangan para ‘ulama’:
1.  Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.
2.  Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya tidak akan sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut juga tidak akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.

Berikut ini pembahasan kedua pendapat di atas secara lebih terperinci lengkap dengan dalil-dalil yang mendasarinya:

1.  Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.

Saudaraku,
Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut juga akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut. Di antara dalil tegas dalam masalah ini adalah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu, maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq 'Alaih).

Dalam hadits yang lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu diperoleh penjelasan sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia, apakah berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Iya" Laki-laki tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun yang sedang berbuah dan aku ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah menyedekahkan kebun tersebut untuk ibuku." (Shahih: Bukhari).

Sedangkan dalam hadits yang lainnya lagi (juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu), diperoleh penjelasan sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Berikut ini aku kutibkan keterangan yang terdapat dalam Kitab Shahih Sunan Tirmidzi:

Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan”. Dalam masalah ini para ‘ulama’ mempunyai pendapat: “Tidak ada sesuatu yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia kecuali sedekah dan doa”. Sebagian ‘ulama’ meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Dinar, dari Ikrimah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal*). Ia berkata: “Makna makhrafan adalah kebun”.

Saudaraku,
Hadits-hadits di atas menjadi dalil bahwa pahala sedekah atas nama orang yang sudah wafat itu bisa sampai kepada yang bersangkutan. Bahkan kata Imam Nawawi bahwa pahala sedekah ini bisa sampai kepada orang yang sudah wafat dengan sepakat ‘ulama’. (Syarh Shahih Muslim, 7: 90).

Dalam penjelasan yang lain, Imam Syafi’i dalam Kitab Al Umm juga mengatakan bahwa ada tiga perkara yang pahalanya akan sampai kepada orang yang meninggal, salah satunya adalah sedekahnya orang hidup terhadap mayit.

صَدَقَةُ الْحَيِّ عن الْمَيِّتِ” أخبرنا الرَّبِيعُ بن سُلَيْمَانَ قال حدثنا الشَّافِعِيُّ إمْلَاءً قال يَلْحَقُ الْمَيِّتَ من فِعْلِ غَيْرِهِ وَعَمَلِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى عنه وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عنه أو يُقْضَى وَدُعَاءٌ فَأَمَّا ما سِوَى ذلك من صَلَاةٍ أو صِيَامٍ فَهُوَ لِفَاعِلِهِ دُونَ الْمَيِّتِ.
“Sedekahnya orang hidup terhadap mayit (bemanfaat untuknya/sampai kepadanya).” Meriwayatkan kepada kita ar-Robi’ Sulaiman, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kita Imam as-Syafi’i di dalam kitab Imla’, beliau berkata: Terdapat tiga perkara yang sampai kepada mayit dari pekerjaan orang lain, yaitu: haji yang dilakukan untuk mayit, harta yang disedekahkan untuknya, dan do’a”. (Al Umm juz 4, halaman 120).

Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, diperoleh penjelasan sebagai berikut:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm: 39).

Yaitu sebagaimana tidak dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.

Berdasarkan ayat ini Imam Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal ini, tidak memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka petunjuk kepadanya, baik melalui nash hadits maupun makna yang tersirat darinya. Hal ini tidak pernah pula dinukil dari seseorang dari para sahabat yang melakukannya. Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur’an untuk mayat) merupakan hal yang baik, tentulah kita pun menggalakkannya dan berlomba melakukannya.

Pembahasan mengenai amal taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang digariskan oleh nash-nash syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam hukum analogi dan pendapat manapun. Akan tetapi, berkenaan dengan do’a dan sedekah (yang pahalanya dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para ulama, bahwa pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nash dari syariat yang menyatakannya. (Tafsir Ibnu Katsir).

2.  Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya tidak akan sampai kepadanya sehingga orang yang sudah wafat tersebut juga tidak akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang menjadi kewajiban kita itu, harus kita sendiri yang melaksanakannya. Harus kita sendiri yang melaksanakannya, artinya tidak bisa diwakilkan/tidak bisa diwakili oleh orang lain/tidak bisa dikerjakan oleh orang lain.

Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 – 41 berikut ini:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (QS. An Najm. 38 – 41).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

(39) (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang sesungguhnya itu ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang lain. (40) (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di akhirat. (41) (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata, Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il Lazim. (QS. An Najm. 38 – 41).

Sedangkan dalam tiga buah hadits di bawah ini, diperoleh penjelasan sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu, maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq 'Alaih).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia, apakah berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Iya" Laki-laki tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun yang sedang berbuah dan aku ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah menyedekahkan kebun tersebut untuk ibuku." (Shahih: Bukhari)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Saudaraku,
Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat meski tanpa adanya wasiat dari keduanya, dan pahalanya-pun juga akan sampai kepada kedua-nya.

Namun yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa dalam ketiga hadits di atas, hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya. Terlebih lagi telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil usaha orang-tuanya sebagaimana penjelasan hadits berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, bahwa dalam ketiga hadits di atas, hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya. Dan telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil usaha orang-tuanya sehingga tidak perlu lagi mendakwa ayat di atas dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Sedangkan yang selain dari anak, maka pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia.

Hal ini mengandung makna bahwa ayat Al Qur`an dalam surat An Najm (yaitu ayat 39) berikut ini:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An Najm. 39), tetap dengan keumumannya. Sedangkan pahala sedekah dari seorang anak kepada kedua orang tuanya tetap sampai, karena anak adalah hasil dari usaha orang tuanya, berbeda dengan selain anak.

Sekali lagi kusampaikan, hal ini mengandung makna bahwa ayat Al Qur`an dalam surat An Najm (yaitu ayat 39) di atas, tetap dengan keumumannya. Sedangkan pahala sedekah dari seorang anak kepada kedua orang tuanya tetap sampai, karena anak adalah hasil dari usaha orang tuanya, berbeda dengan selain anak. (Wallahu a'lam).

Sikap kita dalam menghadapi perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama'

Saudaraku,
Untuk masalah-masalah fiqih seperti ini, memang tidak jarang dijumpai terjadinya perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama'. Kita tidak perlu terlalu larut pada masalah-masalah khilafiyah seperti ini (juga masalah-masalah khilafiyah yang lain, seperti masalah do'a qunut pada sholat subuh, perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, dll).

Selama perbedaan pendapat tersebut bukan menyangkut pokok-pokok ajaran Islam, maka langkah terbaik adalah saling menghormati perbedaan itu. Menghadapi hal ini, maka sikap kita adalah: mengambil satu pendapat yang kita condong kepadanya, kemudian tidak serta-merta menyalahkan pendapat yang lain.

Kita harus lebih mengedepankan persatuan umat, sehingga kita tidak sampai terpecah-belah karenanya. Jika kita sampai terpecah belah, maka yang akan mereguk keuntungan adalah musuh-musuh Islam. Na’udzubillahi mindzalika!

وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ ﴿٧٣﴾
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu**), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al Anfaal. 73).

Namun jika perbedaan pendapat tersebut menyangkut pokok-pokok ajaran Islam, seperti: adanya segolongan orang Islam yang mengatakan bahwa sholat wajib itu hanya tiga waktu, atau meyakini bahwa puasa Ramadhan itu tidak wajib, atau membolehkan sholat dengan menggunakan Bahasa Indonesia, atau mengakui ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, atau membolehkan pelaksanaan ibadah haji pada bulan apapun sepanjang tahun, atau memandang zakat itu hanyalah sebagai ibadah sunat saja, atau meyakini bahwa Allah itu mempunyai anak, dll., maka untuk kasus-kasus seperti ini adalah tugas kita bersama untuk meluruskannya.

Bersedekah atas nama orang-tua yang sudah wafat

Saudaraku,
Jika bersedekah atas nama orang lain yang sudah wafat merupakan masalah yang menjadi perselisihan para ‘ulama’, tidak demikian halnya dengan bersedekah atas nama orang tua yang sudah wafat. Terkait hal ini (yaitu bersedekah atas nama orang tua yang sudah wafat) tidak ada perselisihan para ‘ulama’.

Semua ‘ulama’ sepakat bahwa bersedekah atas nama orang tua yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepada kedua orang tua sehingga orang tua yang sudah wafat akan memperoleh manfaat dari sedekah tersebut.

Hal ini didasarkan kepada ketiga hadits di atas (yaitu hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha serta hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu) yang secara eksplisit memang menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya (ketiga hadits tersebut secara tegas, gamblang, tidak tersembunyi, tidak bertele-tele, tersurat, jelas dan tidak mempunyai gambaran makna yang kabur dalam berbagai hal, memang menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya).

Penjelasan tambahan

Saudaraku,
Untuk menjawab pertanyaan: “Bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya atau tidak?”, kita memerlukan informasi yang benar, akurat dan meyakinkan karena hal ini adalah permasalahan ghaib yang mustahil untuk kita ketahui kecuali hanya jika diberitakan oleh satu-satunya pihak yang mengetahui rahasia alam ghaib, yakni Allah Ta`ala.

Sekali lagi kusampaikan, bahwa bersedekah atas nama orang yang sudah wafat itu pahalanya bisa sampai kepadanya atau tidak, hal ini merupakan perkara ghaib yang hakikatnya hanya diketahui Allah saja. Dan Allah tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Demikian penjelasan Allah dalam surat Al Jin ayat 26 – 28:

عَــٰـلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا ﴿٢٧﴾ لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَـــٰــلَـــٰـتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا ﴿٢٨﴾
(26) “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”. (27) “Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (28) Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (QS. Al Jin. 26 – 28).

Tafsir Ibnu Katsir:

عَــٰـلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ ... ﴿٢٧﴾
(26) “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”. (27) “Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, ...”. (QS. Al Jin. 26 – 27).

Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

... وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ... ﴿٢٥٥﴾
“... dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya...”. (Al-Baqarah: 255)

Demikian pula disebutkan dalam surat ini bahwa sesungguhnya Dia mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, dan sesungguhnya Dia tidak memperlihatkan sesuatu pun dari ilmu-Nya kepada seseorang dari makhluk-Nya kecuali sebatas apa yang diperlihatkan oleh Dia kepadanya. Karena itu, maka disebutkan dalam firman-Nya: “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, ...”. (QS. Al Jin. 26 – 27). Hal ini mencakup utusan dari kalangan manusia dan malaikat.

Kemudian dalam firman berikutnya disebutkan:

... فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا ﴿٢٧﴾
“... maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (QS. Al Jin. 27).

Yakni Allah memberikan kekhususan kepadanya dengan kawalan para malaikat yang menjaganya atas perintah dari Allah SWT. Para malaikat itu mengawal dia berikut wahyu Allah yang ada padanya. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:

لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَـــٰــلَـــٰـتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا ﴿٢٨﴾
Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedangkan (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu. (QS. Al Jin. 28).

. . . . .

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika ada kekurangan/kesalahan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku***).
                            
Semoga bermanfaat.

NB.
*)   Hadits mursal adalah hadits yang di akhir sanad yaitu di atas tabi’in terputus.
**) Yang dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu; adalah keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin.
***) Bagaimanapun sampai saat ini aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞