Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat
(teman sekolah di SMP 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan sebagai
berikut: “Pak Imron, mau tanya. Kalau di hari Lebaran kita minta maaf sama
seseorang dan orang itu nggak mau memaafkan, hukumnya bagaimana ya?
Tanggapan
Sebelum membahas pertanyaan yang saudaraku sampaikan
tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini terlebih dahulu.
Saudaraku,
Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat Asy Syuura
ayat 40 berikut ini beserta tafsirnya:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ ﴿٤٠﴾
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Asy Syuura.
40).
♦ Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang
serupa) kejahatan yang kedua ini dinamakan pula sebagai kejahatan bukan
pembalasan, karena jenis dan gambarannya sama dengan yang pertama. Hal ini
tampak jelas di dalam masalah yang menyangkut kisas luka. Sebagian di antara
para ahli fikih mengatakan, bahwa jika ada seseorang mengatakan kepadamu: “Semoga
Allah menghinakan kamu”, maka pembalasan yang setimpal ialah harus dikatakan
pula kepadanya, "Semoga Allah menghinakan kamu pula (maka barang siapa
memaafkan) orang yang berbuat lalim kepadanya (dan berbuat baik) yakni tetap
berlaku baik kepada orang yang telah ia maafkan (maka pahalanya atas tanggungan
Allah) artinya, Allah pasti akan membalas pahalanya. (Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang lalim) maksudnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
memulai berbuat lalim, maka barang siapa yang memulai berbuat lalim dia akan
menanggung akibatnya, yaitu siksaan dari-Nya.
♦ Tafsir Ibnu Katsir:
Firman Allah Subhanahu
waTa'ala:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ... ﴿٤٠﴾
Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40).
Semakna dengan apa yang
disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
... فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ
مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ... ﴿١٩٤﴾
“... Oleh sebab itu barang
siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. ...”. (QS. Al Baqarah: 194).
Semakna pula dengan firman-Nya:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُواْ
بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّـــٰبِرينَ
﴿١٢٦﴾
Dan jika kamu memberikan
balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar. (QS. An Nahl. 126).
Maka keseimbangan merupakan hal
yang disyariatkan, yaitu hukum qishash,
sedangkan yang lebih utama daripada itu hanyalah dianjurkan, yaitu memaafkan
seperti yang disebutkan pula dalam ayat yang lain melalui firman Allah
Subhanahu waTa'ala:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ
النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالْأُذُنَ
بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ
فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـــٰـــئِكَ
هُمُ الظَّــــٰـلِمُونَ ﴿٤٥﴾
Dan kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka-luka (pun) ada qishash-nya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)-nya,
maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim. (QS. Al Maa-idah: 45).
Karena itulah dalam surat ini
disebutkan oleh firman-Nya:
... فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ ... ﴿٤٠﴾
“... maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. ...”. (QS. Asy Syuura. 40).
Artinya, hal tersebut tidak
sia-sia di sisi Allah. Seperti apa yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih:
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلَّا عِزًّا
Tidak sekali-kali Allah memberi
tambahan kepada seseorang hamba dengan sifat pemaaf, melainkan
kemuliaanlah (yang diperolehnya).
Adapun firman Allah Subhanahu
waTa'ala:
... إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ ﴿٤٠﴾
“... Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
zalim. (QS. Asy Syuura. 40). Maksudnya, orang-orang yang
bersikap melampaui batas, yaitu orang yang memulai permusuhan dan berbuat
jahat.
-----
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, diperoleh penjelasan bahwa
seseorang yang telah dholimi itu berhak untuk membalasnya dengan kedholiman
yang serupa. Dan tidak diperbolehkan untuk membalasnya dengan kedholiman yang
lebih besar dari kedholiman yang telah diterimanya.
Perhatikan pula penjelasan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut
ini (hadits no. 6414 dan no. 6415):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ
هِشَامِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
يَقُولُ مَرَّ يَهُودِيٌّ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
السَّامُ عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ
قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا نَقْتُلُهُ قَالَ لَا
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ. (رواه البخارى)
68.8/6414. Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Muqatil Abul Hasan Telah mengabarkan kepada kami
Abdullah telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Hisyam bin Zaid bin Anas
bin Malik mengatakan, aku mendengar Anas bin malik mengatakan; seorang yahudi
melewati Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dan mengucapkan: “Assaam
'alaikum (kiranya kalian tertimpa kematian)”. Maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menjawab: “Wa'ailaika (Dan untukmu)”. Kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: “Tahukah kalian apa yang diucapkannya?”.
Dia telah mengatakan: 'alaikum (Semoga kalian tertimpa kematian). Maka para
sahabat menjawab: “Bagaimana kalau dia kami bunuh?”. Nabi menjawab: “Jangan,
jika ahlu kitab mengucapkan salam kepada kalian, jawablah: “wa'alaikum”. (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ عَنْ
ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا قَالَتْ اسْتَأْذَنَ رَهْطٌ مِنْ الْيَهُودِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكَ فَقُلْتُ بَلْ عَلَيْكُمْ
السَّامُ وَاللَّعْنَةُ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ
الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ قُلْتُ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ
قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ. (رواه البخارى)
68.9/6415. Telah menceritakan
kepada kami Abu Nu'aim dari Ibnu Uyainah dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah
radliallahu 'anha mengatakan; Sekelompok orang yahudi meminta izin kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan mengucapkan: “Assaamu 'alaika (semoga kematian
tertimpa kepada kamu)”. Saya menjawab: “Bahkan untuk kalian kematian dan juga
laknat”. Maka Nabi berujar: “Hai ‘Aisyah, bahwasanya Allah menyukai kelembutan
dalam segala urusan”. Saya menjawab: “Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka
ucapkan?”. Beliau menjawab: “Saya menjawab; wa'alaikum (dan untuk kalian)”. (HR. Bukhari).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa seseorang yang telah
dholimi itu berhak untuk membalasnya dengan kedholiman yang serupa. Dan tidak
diperbolehkan untuk membalasnya dengan kedholiman yang lebih besar dari
kedholiman yang telah diterimanya.
Meskipun demikian ada yang lebih utama dari hal itu, yaitu memaafkan orang
yang telah mendholiminya (sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Asy
Syuura ayat 40, surat An
Nahl. 126 serta surat Al Maa-idah ayat
45 di atas).
♦ Pembahasan pertanyaan di atas
Setelah kita memperhatikan uraian di atas, sekarang
marilah kita bahas pertanyaan yang saudaraku sampaikan: “Kalau di hari Lebaran
kita minta maaf sama seseorang dan orang itu nggak mau memaafkan, hukumnya
bagaimana ya?”.
Saudaraku,
Jika kita telah berlaku dholim kepada orang lain, maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan
kita untuk meminta maaf kepada orang yang kita dholimi tersebut. Demikian
penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 2269)
berikut ini:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي
إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ
شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ
وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ
مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ
فَحُمِلَ عَلَيْهِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي
أُوَيْسٍ إِنَّمَا سُمِّيَ الْمَقْبُرِيَّ لِأَنَّهُ كَانَ نَزَلَ نَاحِيَةَ الْمَقَابِرِ
قَالَ أَبُو عَبْد اللهِ وَسَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ هُوَ مَوْلَى بَنِي لَيْثٍ
وَهُوَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ وَاسْمُ أَبِي سَعِيدٍ كَيْسَانُ. (رواه البخارى)
29.10/2269. Telah menceritakan
kepada kami Adam bin Abi Iyas telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dza'bi
telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqburiy dari Abu Hurairah radliallahu
'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang
pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu
apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia)
sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia
tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih
akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki
kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu
ditimpakan kepadanya. Berkata, Abu 'Abdullah Al Bukhariy berkata, Isma'il bin
Abi Uwais: Sa'id dipangil namanya dengan Al Maqburiy karena dia pernah tinggal
di pinggiran maqabir (kuburan). Berkata, Abu 'Abdullah Al Bukhariy: Dan Sa'id
Al Maqburiy adalah maula Bani Laits yang nama aslinya adalah Sa'id bin Abi
Sa'id sedangkan nama Abu Sa'id adalah Kaisan. (HR. Bukhari).
Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 2269) di atas, jika kita sudah
meminta maaf kepada orang yang telah kita dholimi dan yang bersangkutan sudah
memaafkan kita, maka kesalahan kita sudah dihapus oleh Allah sehingga perkara
tersebut sudah selesai sampai di sini (tidak berlanjut sampai ke alam akhirat).
Lebih dari itu, kita juga akan
mendapatkan pahala dari Allah karena kita telah mengikuti perintah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Hasyr ayat 7 berikut ini:
... وَمَا ءَاتَــــٰـكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَــٰــكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al
Hasyr. 7).
Sedangkan orang yang kita dholimi
tersebut juga akan mendapatkan pahala dari Allah karena dia telah memaafkan
orang yang telah mendholiminya (sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam Asy
Syuura ayat 40, surat An Nahl. 126 serta surat Al Maa-idah ayat 45 di atas).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa jika kita sudah meminta maaf kepada orang yang telah kita dholimi dan yang
bersangkutan sudah memaafkan kita, maka kesalahan kita sudah dihapus oleh Allah
sehingga perkara tersebut sudah selesai sampai di sini (tidak berlanjut sampai
ke alam akhirat).
Namun jika yang bersangkutan
tidak mau memaafkan sebelum hak-haknya dikembalikan, maka kita harus
mengembalikan hak-haknya tersebut jika kita tidak ingin perkara tersebut
berlanjut hingga ke alam akhirat. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 4678) berikut ini:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ
جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا
الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ
وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا
وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا
مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ
أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.
(رواه مسلم)
46.58/4678. Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan 'Ali bin Hujr keduanya berkata; Telah
menceritakan kepada kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far dari Al A'laa dari Bapaknya
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya
kepada para sahabat: Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu? Para
sahabat menjawab; 'Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang
yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.' Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: 'Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada
hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu
mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti
orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang
dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum
terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil
untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke
neraka. (HR. Muslim).
Misal: kita meminjam kendaraan
orang lain, kemudian kendaraan tersebut mengalami kerusakan karena telah
menyerempet/menabrak kendaraan lain saat kita kendarai. Terkait hal ini, maka
langkah pertama yang harus kita lakukan adalah meminta maaf kepada pemilik
kendaraan tersebut. Jika pemilik kendaraan sudah memaafkan kita, maka perkara
tersebut sudah selesai sampai di sini (tidak akan berlanjut hingga ke alam
akhirat).
Namun jika pemilik kendaraan tidak mau memaafkan sebelum
kendaraan dikembalikan seperti semula, maka kita harus penuhi permintaannya
dengan membawanya ke bengkel untuk diperbaiki agar kembali seperti semula (jika
kita tidak ingin perkara tersebut berlanjut hingga ke alam akhirat).
Sedangkan apabila kita telah mengembalikan hak-haknya, namun yang bersangkutan tetap tidak mau memaafkan kita, maka in
sya Allah kita akan tetap mendapatkan ampunan dari Allah.
Sedangkan orang tersebut justru
akan mendapatkan dosa karena dia telah menuntut lebih dari haknya. Dengan kata
lain dia telah melakukan pembalasan dengan kedholiman yang lebih besar dari kedholiman yang
telah diterimanya. (perhatikan kembali penjelasan Al Qur’an dalam surat Asy
Syuura ayat 40, surat Al
Baqarah ayat 194, surat An Nahl. 126 serta surat Al
Maa-idah ayat
45 di atas). Wallahu ta’ala a'lam.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Sebenarnya meminta maaf itu bisa dilakukan
kapan saja (tidak hanya di hari Lebaran/hari raya Idul Fitri saja).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar