Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (teman
alumni SMAN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan di Grup WhatsApp SMAN 1 Blitar dengan
pertanyaan sebagai berikut: “Mas Imron, apa
hukumnya andai saya memakan keringatnya istri? Semoga Allah
SWT. tetap memberi saya sehat, murah rejeki dan berguna bagi anak istri”.
Saudaraku,
Sebelum menjawab pertanyaan yang panjenengan sampaikan
tersebut, ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban untuk memberi nafkah kepada
keluarga hanya dibebankan Allah kepada suami, bukan kepada isteri. Sedangkan besaran nafkah yang harus
diberikan kepada keluarga, disesuaikan
dengan kadar kemampuan suami (tidak ada ketentuan harus sekian rupiah per bulan,
dll).
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ...﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. ...” (QS. Al Baqarah. 233)
Saudaraku,
Karena Islam hanya membebankan pemberian nafkah keluarga kepada
suami (bukan kepada isteri), maka menjadi tuntutan bagi suami untuk bekerja/keluar
rumah mencari karunia Allah demi memenuhi kewajiban tersebut.
Sedangkan pihak isteri, dikarenakan tidak ada kewajiban
padanya untuk memberikan nafkah kepada keluarganya, maka tidak ada kewajiban pula
baginya untuk bekerja mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
♦ Tentang penghasilan istri dan
suami
Saudaraku,
Berdasarkan keterangan di atas,
dapat disimpulkan
bahwa dari setiap penghasilan yang diperoleh suami, di sana ada jatah nafkah
istri yang harus ditunaikan. Ini berbeda dengan penghasilan isteri. .
Sedangkan terkait penghasilan istri, maka penghasilan
tersebut adalah milik dirinya sendiri/milik pribadi (bukan milik suaminya)
sebagaimana harta-harta pribadi lainnya seperti harta warisan, maskawin
(mahar), hibah dari orang lain, dll.
Murni
menjadi miliknya, artinya
tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan isteri. Kesimpulan ini disandarkan
pada ayat
tentang mahar:
وَءَاتُواْ النِّسَاءَ صَدُقَـــٰــتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَّرِيئًا ﴿٤﴾
Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (QS. An Nisaa’. 4).
Saudaraku,
Jika harta mahar saja (yang
asalnya dari suami kemudian diberikan kepada isteri) tidak boleh dinikmati
suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, apalagi harta lainnya yang murni
dimiliki istri, baik itu melalui usaha yang ia lakukan, hibah, harta warisan
milik istri dari orang tuanya, dll., tentunya lebih lagi tidak boleh dinikmati
oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri.
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa suami hanya boleh
memakan/menikmati/ memanfaatkan harta milik isteri (baik yang diperoleh melalui usaha yang ia lakukan,
hibah, warisan, dll) jika disertai kerelaan hati sang isteri.
Jadi kata kunci dalam perkara ini adalah adanya kerelaan hati isteri.
Sedangkan kerelaan hati itu
lebih tinggi daripada sebatas ijin. Karena bisa jadi isteri mempersilahkan/mengijinkan
suami untuk menggunakan/memakan/ menikmati harta milik isteri karena adanya tekanan
dari suami. Hal ini berarti isteri melakukannya dengan
terpaksa, sehingga pemberian tersebut
dilakukan tanpa adanya kerelaan hati sang isteri. Sehingga dalam kasus seperti ini, suami tetap
haram untuk menggunakan/memakan/menikmati harta milik isteri.
♦ Suami
tidak boleh mengeksploitasi isteri
Saudaraku,
Salah satu
hikmah dari syarat adanya kerelaan hati isteri agar suami bisa menikmati harta milik isteri adalah agar suami tidak mengeksploitasi isterinya.
Karena seandainya harta milik
isteri otomatis menjadi milik suami juga/suami juga secara otomatis boleh menggunakan/memakan/menikmatinya meski tanpa adanya kerelaan hati isteri, maka suami bisa memanfaatkan celah ini untuk mengeksploitasi isterinya. Artinya suami bisa saja menyuruh isterinya untuk
bekerja dan terus bekerja, sementara hasilnya otomatis akan menjadi milik
bersama.
Untunglah
syariat Islam tidak seperti itu. Karena dalam Islam, istri memiliki otoritas privasi terhadap harta yang ia peroleh dari keringatnya sendiri
maupun harta milik isteri lainnya yang diperoleh dari hibah, warisan, mahar, dll.
♦ Teladan Siti Khadijah
Saudaraku,
Siti
Khadijah radhiyallahu 'anha adalah saudagar kaya raya yang kemudian menikah dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam disaat beliau sudah berusia 40 tahun sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam masih berusia 25 tahun (15 tahun sebelum Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menerima wahyu pertama/sebelum diangkat
menjadi Rasul). Beliau
bahkan bersedia menikah dengan Rasulullah meski
Rasulullah tidak memiliki
harta.
Saudaraku,
Ketahuilah
pula bahwa Siti Khadijah adalah
orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan wanita.
... وَأَوَّلُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ النِّسَاءِ
خَدِيجَةُ. (رواه الترمذى)
“..., sedangkan orang yang pertama kali masuk Islam dari
kalangan wanita adalah Khadijah”. (HR. At-Tirmidzi, no. 3667).
Kemudian dengan kekayaannya yang melimpah itu, beliau
korbankan seluruhnya untuk perjuangan menegakkan risalah Islam yang diemban
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau rela dan ridha menyediakan
rumahnya untuk pusat dakwah Nabi, mengantar makanan ketempat dakwah Nabi, serta
membiayai perjuangan Nabi ketika diboikot penduduk kafir Quraisy.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا ابْنُ
فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
قَالَ أَتَى جِبْرِيلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْكَ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ
أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا
عَزَّ وَجَلَّ وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا
صَخَبَ فِيهِ وَلَا نَصَبَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ فِي رِوَايَتِهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَلَمْ يَقُلْ سَمِعْتُ وَلَمْ يَقُلْ فِي الْحَدِيثِ وَمِنِّي.
(رواه مسلم)
45.72/4460. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib dan Ibnu Numair mereka
berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari 'Umarah dari Abu
Zur'ah dia berkata; Aku mendengar Abu Hurairah berkata; "Pada suatu ketika
Jibril pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil
berkata: “Ya Rasulullah ini dia Khadijah. Ia datang kepada engkau dengan
membawa wadah berisi lauk pauk (baik itu makanan ataupun minuman). Oleh karena
itu, apabila ia datang kepada engkau, maka sampaikanlah salam dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan dariku kepadanya. Selain itu, beritahukan pula
kepadanya bahwa rumahnya di surga terbuat dari emas dan perak, yang disana
tidak ada kebisingan dan kepayahan di dalamnya”. (HR. Muslim).
Saudaraku,
Pengorbanan Siti Khadijah dalam
membantu perjuangan menegakkan risalah Islam yang diemban Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tersebut, beliau lakukan hingga akhir hayat beliau. Dan
menjelang wafatnya, Siti Khadijah mengungkapkan kata-kata yang membuat kita
tersentuh: ”Wahai Rasul utusan Allah, tiada lagi harta
dan hal lainnya yang bersamaku untuk aku sumbangkan demi dakwah. Andai selepas
kematianku, tulang-tulangku mampu ditukar dengan dinar dan dirham, maka
gunakanlah tulang-tulangku demi kepentingan dakwah yang panjang ini”.
Sungguh tiada kata-kata yang lebih indah untuk melukiskan
pengorbanan sucinya, kecuali kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut ini:
... قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ
وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي
النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ
النِّسَاءِ. (رواه أحمد)
... Rasulullah bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla1)
tidak pernah mengganti untukku yang lebih baik darinya (Siti Khadijah), dia
adalah wanita yang beriman kepadaku di saat manusia kafir kepadaku, dan ia
membenarkanku di saat manusia mendustakan diriku, dan ia juga menopangku dengan
hartanya di saat manusia menutup diri mereka dariku, dan Allah ‘Azza Wa Jalla
telah mengaruniakan anak kepadaku dengannya ketika Allah tidak mengaruniakan
anak kepadaku dengan istri-istri yang lain”. (HR. Ahmad, no. 23719).
Saudaraku,
Demikianlah contoh yang telah diberikan oleh Siti Khadijah radhiyallahu ‘anha,
sebaik-baik wanita umat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
عَبْدَ اللهِ بْنَ جَعْفَرٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Bisyr] telah
menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Urwah] dari [bapaknya] bahwa [Abdullah
bin Ja'far] menceritakannya, bahwa dia mendengar [Ali Radhiallah 'anhu]
berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sebaik-baik wanita pada umat saat itu adalah Maryam binti 'Imran dan
sebaik-baik wanita umat ini adalah Khadijah." (HR. Ahmad, no. 1149).
Maka
contohlah beliau (Siti Khadijah radhiyallahu 'anha) wahai para wanita muslimah. Dimana beliau yang telah
Allah karuniai kekayaan yang melimpah, hal itu tidak membuat beliau pongah dan
berani menentang serta berkata-kata kasar kepada sang suami. Namun kekayaannya
tersebut malah beliau gunakan untuk mendukung perjuangan suaminya dalam menegakkan
risalah Islam.
Maka alangkah indahnya jika para
wanita muslimah yang dikaruniai kekayaan yang melimpah, juga menggunakannya
untuk membantu perjuangan suaminya dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah serta untuk tujuan-tujuan baik lainnya.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Allah
‘Azza wa Jalla artinya Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung.