Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (teman
alumni SMAN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan di Grup WhatsApp SMAN 1 Blitar dengan
pertanyaan sebagai berikut: “Begini
Mas Imron, apakah darah dan
keringat suami itu haknya anak istri?”
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Agama Islam, kewajiban memberi
nafkah itu dibebankan kepada suami dan bukan kepada isteri. Dalam Agama Islam,
seorang suami wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya.
... وَعلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan
kewajiban ayah untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan
memberinya pakaian dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
Dari Muawiyah bin
Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi
tanggung jawab kami?”. Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا
طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ
الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau
berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya
(dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam
rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud no. 2142, Ibnu Majah 1850, dan
dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
... وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ... (رواه مسلم)
“...Dan
mereka (istri-istri) punya hak atas kalian, yaitu
nafkah dan pakaian yang pantas. ...”. (HR. Muslim no. 2137).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
... وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا
إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ. (رواه الترمذى)
“... Dan
hak-hak mereka (istri-istri) kepada kalian adalah: kalian
harus berbuat baik kepada mereka dalam masalah sandang dan pangan'. (HR.
At-Tirmidzi, no. 1163).
Ya, mencari nafkah itu adalah kewajiban mutlak bagi seorang
suami dan tidak bisa dialihkan kepada pihak lain selama suami masih mampu
mencari nafkah. Sedangkan kata kunci dalam masalah
nafkah adalah “bil
ma'ruf” (secara baik, pantas, dan layak), sebagaimana penjelasan surat Al Baqarah ayat 233 di atas.
Jadi ukuran dan besaran nafkah
itu adalah bil ma'ruf (بِالْمَعْرُوف) dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi kemampuan suami dan dari sisi kebutuhan
istri. Suami tidak boleh pelit (kikir) dan istri juga tidak
boleh royal (terlalu boros) dan banyak menuntut
hingga melebihi kemampuan suami.
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا
تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَــــيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ... ﴿٦﴾
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. ...”. (QS. Ath Thalaaq. 6).
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَىـٰــهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَىـٰــهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath
Thalaaq. 7).
Saudaraku,
Jika dalam
uraian di atas dijelaskan bahwa mencari nafkah itu adalah kewajiban mutlak bagi seorang
suami dan tidak bisa dialihkan kepada pihak lain (selama
suami masih mampu mencari nafkah), apakah hal ini berarti bahwa suami harus menyerahkan semua penghasilannya kepada istri?
Terkait
hal ini, perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
(hadits no. 4940 dan no. 6628) berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ
أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
49.9/4940. Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah
mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah
bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki
yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta
benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR.
Bukhari).
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ وَاللهِ مَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَذِلُّوا مِنْ أَهْلِ خِبَائِكَ وَمَا أَصْبَحَ الْيَوْمَ
عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَعِزُّوا مِنْ
أَهْلِ خِبَائِكَ ثُمَّ قَالَتْ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ
عَلَيَّ مِنْ حَرَجٍ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَهَا لَا
حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ مِنْ مَعْرُوفٍ. (رواه البخارى)
73.25/6628. Telah menceritakan
kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri
telah mengabarkan kepada kami 'Urwah bahwasanya Aisyah radliallahu 'anha
mengatakan, Hindun binti Utbah bin Rabi'ah datang dan berujar: “Wahai
Rasulullah, dahulu tidak ada penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai
untuk dihinakan selain penghuni rumahmu. Kebalikannya sekarang, tidak ada
penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai untuk dimuliakan selain
penghuni rumahmu. Kemudian Hindun binti Utbah mengatakan: “Sesungguhnya abu
Sufyan orangnya sangat pelit, apakah saya berdosa jika memberi makan
orang-orang yang menjadi tanggungan kami (dengan mengambil hartanya tanpa
sepengetahuannya?)”. Nabi menjawab: “Tidak masalah kau memberi makanan untuk
mereka, asalkan dengan ma'ruf (cara wajar)”. (HR. Bukhari).
√ Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas (hadits
no. 4940 dan no. 6628) menunjukkan wajibnya nafkah seorang suami pada
istri serta pada anaknya.
√ Jika sang suami yang punya kewajiban memberi nafkah
pada istri dan anaknya lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri
boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya, karena nafkah pada istri dan
anak itu wajib dipenuhi oleh suami. Meskipun demikian hal ini bukan berarti
sang isteri boleh mengambil harta suami sesukanya. Isteri hanya diperbolehkan
mengambilnya secara wajar.
Saudaraku,
Atas dasar hal itu, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak benar ungkapan yang mengatakan “gaji suami adalah milik
isteri semuanya”, dikarenakan hak isteri hanyalah sebatas kebutuhannya dan
kebutuhan anak-anaknya secara wajar. Dengan kata lain yang wajib dipenuhi oleh
suami adalah kebutuhan isterinya dan kebutuhan anak-anaknya secara wajar,
sehingga sisa atau kelebihan yang ada dari gaji suami tetaplah menjadi hak dan
milik suami itu sendiri.
Sedangkan apabila ada suami yang memberikan
seluruh gaji/penghasilannya kepada isteri, maka hal ini merupakan “kebaikan
hati suami” yang harus disyukuri oleh sang isteri sekaligus merupakan “amanah”
bagi isteri untuk dipergunakan secara baik dan bertanggung-jawab.
Lebih dari itu semua ketahuilah pula bahwa suami sebagai
anak laki-laki dari orang-tuanya, dia adalah orang pertama yang wajib
menanggung nafkah bagi kedua orang-tuanya manakala ayahnya sudah tidak mampu
lagi bekerja (karena sudah renta, karena sakit-sakitan maupun karena
sebab-sebab lainnya) atau ayah dan ibunya miskin, tidak mampu mencukupi
kebutuhan pokoknya, atau tidak memiliki penghasilan.
Dengan demikian, hal ini semakin memperkuat pernyataan bahwa tidak benar ungkapan yang
mengatakan “gaji suami adalah milik isteri semuanya”, karena selain ada
tanggungan nafkah bagi keluarganya sendiri, suami juga mempunyai tanggung jawab
nafkah bagi kedua orang-tuanya manakala terjadi kondisi seperti di atas. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut ini:
♦ Orang tua yang sudah tidak mampu bekerja wajib dinafkahi
oleh anak-anaknya
Saudaraku,
Orang tua terdiri
dari ayah dan ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun
selama ayah masih mampu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 233 dan surat
Ath Thalaaq ayat 6 dan ayat 7 serta dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (hadits no. 20013),
Abu Daud (hadits no. 2142), Ibnu Majah (hadits
no. 1850), Imam Muslim (hadits no. 2137) Imam Tirmidzi (hadits no. 1163)
dan Imam Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) di atas.
Kewajiban nafkah
dari ayah kepada ibu tentunya sesuai kemampuan ayah. Seandainya ayah sudah tua
dan hanya bisa memberi penghasilan yang sedikit, maka sekadar itulah yang wajib
baginya, sebagaimana penjelasan
Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq ayat 7 di atas.
Oleh karena itu
selama ayah masih mampu memberi nafkah kepada dirinya sendiri dan kepada ibu,
dalam kondisi ini tidak ada orang lain yang berkewajiban memberi nafkah kepada
ayah-ibu.
Namun
jika ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak
memiliki penghasilan, maka siapakah yang wajib memberi nafkah?
Saudaraku,
Terkait hal ini, kaidahnya
yang wajib adalah ahli waris yang terdekat posisinya dalam urutan waris. Allah
ta’ala telah berfirman
dalam Al Qur’an surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat 233 berikut ini:
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena
anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian.
...”.
(QS. Al Baqarah.
233).
√ Tafsir Ibnu Katsir
Firman
Allah SWT:
... وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“...,
dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
Menurut
suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli
waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid,
Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut
pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah: “kepada ahli waris diwajibkan
hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi
nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan
mudarat kepadanya”. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini
telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ayat
ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang
mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka
kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan
oleh Umar ibnul Khattab radhiyallahu
‘anhu dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya
hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق
عَلَيْهِ
Barang
siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia
harus memerdekakannya.
Saudaraku,
Ahli waris yang
berkewajiban adalah yang paling dekat posisinya dari ayah dan ibu. Sebagaimana hadits
dari Sahabat Jabir radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ابْدَأْ
بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن
أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا
وَهَكَذَا. (رواه مسلم)
“Mulailah dari
dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah
nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada
kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih
ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
Saudaraku,
Untuk
memahami ahli waris mana yang posisinya paling dekat, maka kita pahami dahulu
bahwa pengelompokkan ahli waris dibagi berdasarkan 2 sisi, yaitu:
1. Jihhah (arah),
urutannya:
a. bunuwwah (anak, dan terus ke bawah)
b. ubuwwah (ayah, dan terus ke atas)
c. ukhuwah (saudara, dan terus ke samping)
d. umuwwah (ibu, dan terus ke atas)
2. Darajah,
yaitu level kedekatan jalur. Misal, posisi “anak” lebih dekat kepada ayah-ibu
dari pada “cucu”.
Menentukan ahli
waris yang terdekat adalah dengan melihat urutan jihhah dahulu, kemudian ketika
ada 2 jenis ahli waris yang jihhah-nya sama, maka dilihat dari sisi
darajah.
Contoh:
ayah dan ibu miskin, sedangkan ahli waris yang ada adalah anak,
cucu, dan saudara kandung. Anak dan cucu urutan jihhah-nya lebih tinggi
(bunuwwah) dari saudara kandung (ukhuwwah).
Kemudian anak dan
cucu memiliki jihhah yang sama, namun anak lebih dekat kepada ayah-ibu daripada
cucu. Sehingga yang wajib menafkahi adalah anak. Dan anak-anak yang paling wajib
adalah anak-anak laki-laki. Sedangkan jika tidak ada anak laki-laki, maka anak-anak
perempuan.
Namun jika
anak-anak tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cucu. Jika
cucu tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cicit. Demikian
seterusnya.
Dan jika anak,
cucu, cicit semuanya tidak ada atau tidak ada yang mampu maka dari kalangan
ubuwwah (ayah dari ayah-ibu, dan terus ke atas). Sedangkan jika dari kalangan
ubuwwah tidak ada maka dari kalangan ukhuwwah (para saudara dari ayah-ibu). Demikian
seterusnya.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar