Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) (teman alumni SMAN 1 Blitar/staf pengajar/dosen sebuah
perguruan tinggi negeri terkemuka di Surabaya) telah
menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan sebagai berikut: “Pak
Imron, bagaimana Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mencontohkan proses
pemilihan istri dan dengan alasan apa poligami dilakukan atau dianjurkan?”.
♦ Dengan alasan apa poligami dilakukan atau dianjurkan?
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan Allah
dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian awal ayat 3 berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَـــٰمَىٰ فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـــٰثَ وَرُبَـــٰعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً ... ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, …” (QS. An
Nisaa’. 3).
Saudaraku,
Yang perlu diberi catatan terkait surat An Nisaa’ ayat
3 di atas adalah bahwa ayat tersebut bukanlah perintah untuk menambah isteri
menjadi dua, tiga atau empat.
Sekali lagi kusampaikan bahwa surat An Nisaa’ ayat 3 di
atas bukanlah perintah untuk menambah isteri menjadi dua, tiga atau empat.
Yang terjadi justru sebaliknya. Ayat tersebut justru
membatasi seorang suami agar beristri maksimal hanya sampai 4 orang saja.
Karena pada saat itu sudah menjadi budaya bahwa seorang suami mempunyai istri
yang banyak dan tidak ada batasannya berapa maksimal seorang suami boleh mempunyai
istri.
Saudaraku,
Sebagaimana sudah
diketahui, bahwa praktik poligami sebelum Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
menerima wahyu pertama
(sebelum beliau diangkat menjadi Rasul) dilakukan tanpa batas. Laki-laki dianggap wajar dan sah saja untuk
mengambil perempuan sebagai isteri sebanyak yang dikehendakinya, berapapun,
sebagaimana laki-laki juga dianggap wajar saja memperlakukan kaum perempuan
sesuka hatinya.
Peradaban
seperti ini telah lama bercokol
bukan hanya di wilayah Jazirah Arab, tetapi juga dalam banyak peradaban lainnya
di berbagai belahan dunia
lainnya. Dengan kata lain perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban
Arab, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain pada
saat itu serta pada masa-masa sebelumnya.
Saudaraku,
Pada masa itu nasib hidup kaum perempuan didefinisikan oleh laki-laki dan untuk
kepentingan mereka. Perempuan bahkan dipandang sebagai layaknya benda dan untuk kesenangan kaum laki-laki.
Maka
tidaklah mengherankan bila
masyarakat Arab pada waktu
itu menganggap kelahiran anak perempuan bukanlah merupakan peristiwa yang patut dirayakan. Sebagian malah menganggap kelahiran
anak perempuan itu justru dapat membawa kesialan. Sehingga
mereka bimbang, apakah akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah hidup-hidup. Al
Qur’an telah menginformasikan kepada
kita realitas sosial ini.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ ﴿٥٨﴾ يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ
عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا
يَحْكُمُونَ ﴿٥٩﴾
(58) Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar
dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia
sangat marah. (59) Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan
buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An Nahl. 58 – 59).
Saudaraku,
Tentu saja Islam memandang bahwa
poligami (apalagi perbudakan) yang dipraktikkan bangsa Arab ketika itu (dan hal
ini juga terjadi di berbagai belahan dunia yang lainnya) bukan merupakan
tradisi yang baik, karena seringkali merugikan kaum perempuan. Dan setiap perbuatan yang merendahkan dan membuat derita orang, haruslah dihindarkan dan dihentikan. Manusia harus dimuliakan, manusia harus dibebaskan dari kegelapan menuju cahaya.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ ... ﴿٧٠﴾
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, ...”.
(QS. Al Israa’. 70).
اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ
الظُّلُمَـــٰتِ إِلَى النُّوُرِ ... ﴿٢٥٧﴾
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. ...”. (QS. Al Baqarah. 257).
Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa terkait praktik poligami, Islam justru hadir dalam rangka mengeliminasi praktik ini, selangkah demi
selangkah.
Terdapat dua
cara yang terdapat dalam Al
Qur’an untuk merespon praktik ini (sebagaimana yang terdapat dalam surat An
Nisaa’ ayat 3 di atas), yaitu
mengurangi jumlahnya dan mengarahkannya pada penegakan keadilan.
Saudaraku,
Al Qur’an turun salah
satunya adalah untuk melancarkan koreksi, kritik dan memprotes keadaan tersebut
dengan mengambil strategi meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu sehingga
dibatasi hanya empat orang saja di satu sisi (perhatikan
kembali penjelasan surat An Nisaa’ ayat 3 di atas serta penjelasan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
berikut ini), dan memperingatkan serta
menuntut agar para suami berlaku adil kepada para isterinya pada sisi yang lain
(perhatikan kembali penjelasan surat An
Nisaa’ ayat 3 di atas).
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ ابْنِ أَبِي
لَيْلَى عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ اخْتَرْ
مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. (رواه ابن ماجه)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Ibrahim Ad
Dauraqqi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Husyaim] dari [Ibnu Abu
Laila] dari [Khamaidlah binti Asy Syamardal] dari [Qais bin Al Harits] ia
berkata: “Aku masuk Islam sementara aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku mendatangi
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan menuturkan masalah itu”. Maka beliau
bersabda: “Pilihlah
empat di antara mereka”. (HR.
Ibnu Majah, no. 1942).
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ
نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم -
أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ. (رواه
الترمذى)
Dari Ibnu ‘Umar, Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy baru
masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi
masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya. (HR.
Tirmidzi).
♦ Jika membawa kebaikan lanjutkan, sedangkan jika tidak
membawa kebaikan jangan dilanjutkan.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tujuan dilaksanakannya sebuah pernikahan
dalam Agama Islam adalah terwujudnya sebuah keluarga
Islami yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
وَمِنْ ءَايَـــٰــتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّـــتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَاٰيَــــٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٢١﴾
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS. Ar Ruum. 21).
√ Sakinah
Yaitu perasaan nyaman, aman, damai,
tentram atau tenang kepada yang dicintai.
... لِـــتَسْكُنُوا إِلَيْهَا ...
﴿٢١﴾
“..., supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, ...”. (QS. Ar Ruum. 21).
√ Mawaddah
Mawaddah adalah perasaan kasih
sayang, cinta yang membara, perasaan cinta yang menggebu (namun halal) pada
pasangannya.
... وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً
... ﴿٢١﴾
“..., dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah ...”. (QS.
Ar Ruum. 21).
√ Rahmah
Rahmah adalah kasih sayang dan
kelembutan (perasaan
saling simpati atau belas-kasihan)
... وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً
وَرَحْمَةً ... ﴿٢١﴾
“..., dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah. ...”.
(QS. Ar Ruum. 21).
Saudaraku,
Tujuan yang sangat mulia ini (yaitu terwujudnya sebuah keluarga Islami yang sakinah, mawaddah wa rahmah) tidak
hanya berlaku pada pernikahan yang pertama saja, namun juga berlaku pada
pernikahan berikutnya (yaitu pernikahan dengan isteri kedua, ketiga maupun
keempat).
Sehingga jika poligami yang
dilakukan justru menimbulkan problem psikologis bagi isteri bahkan juga bagi
pihak lain yang terkait terutama anak-anak, hubungan-hubungan di antara mereka akhirnya
tidak berjalan harmonis, dst. Dengan kata lain jika poligami yang dilakukan
justru malah lebih banyak dampak negatifnya, maka keadaan seperti ini jelas
tidak sejalan dengan missi perkawinan yang digariskan Al Qur’an. Yakni menciptakan kehidupan rumah tangga yang sakinah (tenteram), mawaddah
(cinta) dan rahmah (kasih sayang). Wallahu a'lam.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{Tulisan ke-2 dari 2
tulisan}
NB.
Pada tulisan di atas ku-akhiri
dengan kalimat: ”wallahu a'lam”. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan ilmu-ku sangatlah
terbatas, sebagaimana penjelasan Al Qur’an berikut ini:
... وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
Sedangkan yang lebih mengetahui bagaimana yang sebenarnya,
tentunya hanya Allah semata. Karena Pengetahuan Allah adalah meliputi segala
sesuatu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an berikut ini:
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا
يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا ﴿١١٠﴾
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa
yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.
(QS. Thaahaa. 110).
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Ath Thalaaq. 12).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar