Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) (teman
alumni SMPN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan sebagai berikut: “Pak Imron,
apakah benar penukaran uang receh baru yang jumlahnya tidak sama walaupun tunai
hukumnya riba? Soalnya kemarin saat aku menukar uang receh baru dipotong Rp
10.000 per Rp 100.000, tapi kan ikhlas karena sebagai upah?”.
Saudaraku,
Untuk menilai apakah transaksi tersebut termasuk transaksi
ribawi atau bukan, silakan panjenengan analogkan dengan contoh kasus di bawah
ini:
Contoh kasus pertama:
X: Aku pinjam Rp
1.000.000
boleh?
Y: Boleh. Tapi saat
mengembalikan ditambah
Rp 100.000 ya, sehingga menjadi Rp
1.100.000.
Kalau nggak mau, ya sudah. Tak ada uang yang
bisa dipinjam.
X: Okay aku setuju, pinjam Rp 1.000.000.
Contoh kasus kedua:
R: Aku pinjam Rp
1.000.000 boleh?
S: Boleh, ini uangnya.
(Saat
mengembalikan pinjaman tersebut, ternyata R telah memberi
tambahan Rp 100.000)
S: Lho kok Rp
1.100.000?
Bukannya anda hanya pinjam Rp 1.000.000?
R: Nggak apa-apa, kebetulan aku ada kelebihan
rejeki.
Saudaraku,
Kejadian pertama (antara X dan
Y) adalah riba karena tambahan Rp 100.000 tersebut ditetapkan dan
diminta oleh pemberi pinjaman.
Mengapa transaksi seperti itu (yaitu mengambil
keuntungan dalam hutang-piutang) dilarang? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (hadits
no. 6384), Imam An-Nasa’i (hadits no. 4532) dan Imam Abu Dawud (hadits no. 3041)
berikut ini:
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ
شُعَيْبٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ ذَكَرَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي
بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Isma'il bin Ibrahim]
telah menceritakan kepada kami [Ayub] telah menceritakan kepadaku ['Amru bin
Syu'aib] dari [bapaknya] dari [kakeknya], dia berkata; Abdullah bin 'Amru
menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: “Tidak halal ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari
keuntungan), dua persyaratan dalam satu transaksi, mengambil keuntungan
dari barang yang tidak bisa dijamin (keberadaannya), dan dari menjual sesuatu
yang tidak ada di tempatmu”. (HR. Ahmad, no. 6384).
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَحُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا بَيْعُ مَا
لَيْسَ عِنْدَكَ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami ['Amru bin Ali] dan [Humaid
bin Mas'adah] dari [Yazid], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Ayyub]
dari ['Amru bin Syu'aib] dari [ayahnya] dari [kakeknya] bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal
ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan), serta dua
syarat dalam jual beli serta menjual apa yang tidak kamu miliki”. (HR.
An-Nasa’i no. 4532).
حَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ حَدَّثَنِي عَمْرُو
بْنُ شُعَيْبٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ حَتَّى ذَكَرَ عَبْدَ اللهِ بْنَ
عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي
بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. (رواه
ابو داود)
Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] telah
menceritakan kepada kami [Isma'il] dari [Ayyub] telah menceritakan kepadaku
['Amru bin Syu'aib] telah menceritakan kepadaku [Ayahku] dari [Ayahnya] hingga
ia menyebutkan [Abdullah bin 'Amru] ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Tidak halal ada piutang bersamaan
dengan jual beli (mencari keuntungan), dua syarat dalam satu transaksi,
keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang
bukan milikmu”. (HR. Abu Dawud, no. 3041).
Sedangkan pada kejadian
kedua (antara R dan S) bukan riba karena tambahan Rp 100.000 tersebut tidak diminta oleh
pemberi pinjaman, namun merupakan pemberian secara sukarela oleh R selaku
peminjam.
Tanggapan beliau: Aku waktu mau
tukar, temanku bilang: “Nanti
dipotong Rp 10.000 ya tiap Rp 100.000”. Kujawab:
“Okay”. Jujur waktu itu aku kaget. Tapi apa boleh buat, daripada antri di bank.
Berarti
potongan ditetapkan dan diminta oleh yang punya uang baru?
Tanggapan beliau: “Betul sekali”.
Saudaraku,
Menukar uang Rp 100.000 dipotong Rp 10.000
itu sama saja dengan menukar Rp 90.000 uang baru dengan Rp 100.000 uang lama,
yang berarti ada tambahan Rp 10.000. Jika benar demikian maka jelas
hal itu termasuk transaksi ribawi, yaitu riba fadll
(رِبَاالْفَضْلِ). Kecuali jika tambahan Rp 10.000 tersebut tidak diminta
oleh pihak yang punya uang baru, namun merupakan
pemberian secara sukarela dari panjenengan.
Sedangkan yang dimaksud dengan riba fadll adalah riba
yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya
adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2970) berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ
لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي
قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. (رواه مسلم)
23.75/2970. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim
dan ini adalah lafadz Ibnu Abu Syaibah, Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada
kami, sedangkan yang dua berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Khalid Al Khaddza' dari Abu Qilabah dari
Abu Al Asy'ats dari 'Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta
tunai. Jika jenisnya berbeda, maka jual-lah sesuka hatimu asalkan dengan tunai
dan langsung serah terimanya”. (HR. Muslim).
Tanggapan beliau: “Terus aku
harus bagaimana
Pak Imron, masak ‘tak kembalikan?
Ini masih ada sisa”.
Santai
saja wahai saudaraku.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk mengembalikan hasil riba
yang diperoleh karena memang benar-benar tidak tahu (karena memang benar-benar
tidak tahu jika transaksi seperti itu adalah riba), melainkan memaafkan apa
yang telah lalu. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat 275 berikut ini2):
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا فَمَن جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللهِ ... ﴿٢٧٥﴾
“... padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah ...”. (QS. Al Baqarah. 275)
Tafsir
Ibnu Katsir:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا ... ﴿٢٧٥﴾
“... padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ...”.
(QS. Al Baqarah. 275)
Makna ayat ini dapat
ditafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk menyanggah protes
yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara
jual beli dan riba secara hukum.
Dia Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana yang tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, tidak dimintai
pertanggung-jawaban atas apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka pasti
dimintai pertanggungjawabannya.
Dia Maha Mengetahui
semua hakikat segala perkara dan kemaslahatannya; mana yang bermanfaat bagi
hamba-hamba-Nya, hal itu dihalalkan-Nya bagi mereka; dan mana yang membahayakan
mereka, maka Dia melarang mereka darinya.
Dia lebih belas
kasihan kepada mereka daripada belas kasih seorang ibu kepada bayinya. Karena
itulah dalam firman selanjutnya Allah Subhanahu waTa'ala berfirman:
... فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ ... ﴿٢٧٥﴾
“...Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah ...”. (QS. Al Baqarah. 275).
Dengan kata lain,
barang siapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia
berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu kepadanya, maka masih
diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan.
Dikatakan demikian karena firman-Nya:
... عَفَا اللهُ عَمَّا سَلَفَ ... ﴿٩٥﴾
“... Allah telah
mema`afkan apa yang telah lalu ...”. (QS. Al Maa-idah: 95)
Seperti apa yang
dikatakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hari kemenangan atas kota
Mekah, yaitu:
وَكُلُّ رِبًا فِي
الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ
رِبَا الْعَبَّاسِ
Semua riba Jahiliah
telah diletakkan di bawah kedua telapak kakiku ini (dihapuskan), mula-mula riba
yang kuhapuskan adalah riba Al-Abbas.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengembalikan bunga
yang diambil mereka di masa Jahiliah, melainkan memaafkan apa yang telah lalu.
Seperti juga yang disebutkan di dalam firman-Nya (yang artinya adalah): “maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Al Baqarah.
275).
Tanggapan beliau: “Istighfar saja ya,
yang banyak? Allah pasti pahamlah, aku memang nggak tahu waktu itu”.
Saudaraku,
Sudah
terlanjur transaksi karena memang belum paham, in sya Allah,
Allah akan mengampuninya. Maka bersegeralah datang kepada Allah
untuk bertaubat kepada-Nya dan
berserah dirilah kepada-Nya. Dan ikutilah dengan sebaik-baiknya apa yang telah diturunkan Allah (yaitu Al
Qur’an) sebelum datang azab dari-Nya dengan tiba-tiba.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَىٰ
أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ
إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
﴿٥٣﴾
Katakanlah:
“Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus-asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az Zumar. 53).
وَأَنِيبُوا
إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا
تُنصَرُونَ ﴿٥٤﴾
Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah (kalian) kepada-Nya sebelum datang kepadamu azab kemudian kamu tidak dapat
ditolong (lagi). (QS. Az Zumar. 54).
وَاتَّبِعُوا
أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم
مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً
وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٥٥﴾
Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan
kepadamu (Al Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang kepadamu azab dengan
tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, (QS. Az Zumar. 55).
Berikut ini kusampaikan beberapa
perkara untuk menambah wawasan kita terkait riba.
♦ Definisi Riba
Saudaraku,
Riba menurut bahasa adalah nilai lebih atau tambahan
(al-ziyadah), sedangkan menurut istilah, Imam Ibnu Al-‘Arabiy mendefinisikan
riba sebagai semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran
kompensasi.
♦ Jenis-Jenis Riba
Riba itu terbagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Riba qardl (رِبَاالْقَرْضِ)
2. Riba fadll (رِبَاالْفَضْلِ)
3. Riba nasii-ah (رِبَاالنَّسِيْئَةِ)
4. Riba yad (رِباَالْيَدِ)
Saudaraku,
Berikut ini penjelasan dari ke-empat macam riba tersebut:
1. Riba Qardl (رِبَاالْقَرْضِ)
Riba qardl (riba dalam hutang piutang) adalah meminjam
uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus
diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.
Contoh: seseorang meminjamkan
uang Rp 100.000 lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika
pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi ataupun jasa. Ini semua adalah
riba dan pada hakekatnya bukan termasuk menghutangi.
Karena yang namanya menghutangi adalah dalam rangka tolong-menolong dan berbuat baik.
Mengapa mengambil keuntungan dalam utang piutang itu
terlarang? Hal ini karena dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal ada piutang bersamaan dengan jual beli
(mencari keuntungan).” (HR. Ahmad no. 6384, An-Nasa’i no. 4532 dan Abu Dawud,
no. 3041).
2. Riba Fadll (رِبَاالْفَضْلِ)
Riba fadll adalah riba yang diambil dari kelebihan
pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2970) berikut
ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ
لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي
قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. (رواه مسلم)
23.75/2970. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim
dan ini adalah lafadz Ibnu Abu Syaibah, Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada
kami, sedangkan yang dua berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Khalid Al Khaddza' dari Abu Qilabah dari
Abu Al Asy'ats dari 'Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta
tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai
dan langsung serah terimanya”. (HR. Muslim).
3. Riba Nasii-ah (رِبَاالنَّسِيْئَةِ)
Riba Nasii-ah adalah tambahan yang diambil karena
penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja
apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau
sebagai tambahan hutang baru.
Contoh: Si A meminjamkan uang sebanyak 10 juta
kepada si B dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada
tanggal tertentu dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang
telah ditentukan tersebut, maka si B wajib membayar tambahan atas
keterlambatannya sebesar 5% dari total hutang.
Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk
sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan
hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan
inilah yang disebut dengan riba nasii’ah. Dalil
pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim (hadits no. 2991) berikut
ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي
عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ
أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي
النَّسِيئَةِ.
(رواه مسلم)
23.96/2991. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah 'Amru An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim dan
Ibnu Abu Umar dan ini adalah lafadz 'Amru. Ishaq berkata; telah mengabarkan
kepada kami, dan yang lainnya mengatakan; telah menceritakan kepada kami Sufyan
bin 'Uyainah dari 'Ubaidullah bin Abu Yazid bahwa dia pernah mendengar Ibnu Abbas
berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya riba itu dalam nasii’ah”. (HR. Muslim).
4. Riba Yad (رِباَالْيَدِ)
Riba
yad adalah riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam
pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan
pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan
serah terima.
Larangan
riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 2028) berikut ini:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَدَعَانِي طَلْحَةُ
بْنُ عُبَيْدِ اللهِ فَتَرَاوَضْنَا حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّي فَأَخَذَ الذَّهَبَ
يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ ثُمَّ قَالَ حَتَّى يَأْتِيَ خَازِنِي مِنْ الْغَابَةِ
وَعُمَرُ يَسْمَعُ ذَلِكَ فَقَالَ وَاللهِ لَا تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ. (رواه
البخارى)
18.123/2028. Telah menceritakan
kepada saya 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu
Syihab dari Malik bin Aus mengabarkan kepadanya bahwa dia mencari sharf (barang
dagangan) yang akan dibelinya dengan seratus dirham. Maka Tholhah bin
'Ubaidullah memanggilku lalu kami saling mengemukakan harga dia membeli dariku
lalu dia mengambil emas sebagai ganti pembayarannya seraya berkata: “Hingga
tukang gudang kami datang dari hutan”. 'Umar mendengar perkataan itu lalu
berkata: “Demi Allah, janganlah kamu meninggalkan dia hingga kamu ambil bayaran
darinya karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jual beli emas dengan emas adalah riba' kecuali
begini-begini (kontan, cash), beras dengan beras adalah riba' kecuali
begini-begini (kontan, cash), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali
begini-begini (kontan, cash) dan kurma dengan kurma adalah riba' kecuali
begini-begini (kontan, cash)”. (HR. Bukhari).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah
terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
2) Surat Al Baqarah ayat 275 selengkapnya adalah sebagai berikut:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَوٰا لَا يَقُومُونَ إِلّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَـــٰنُ مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَوٰا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـــٰــئِكَ أَصْحَـــٰبُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَـــٰــلِدُونَ ﴿٢٧٥﴾
Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah. 275).
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2
tulisan }