بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Selasa, 03 September 2024

TRANSAKSI RIBAWI DAN NON RIBAWI (I)

 
Assalamu’alaikum wr. wb.
 
Seorang akhwat1) (teman alumni SMPN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan sebagai berikut: “Pak Imron, apakah benar penukaran uang receh baru yang jumlahnya tidak sama walaupun tunai hukumnya riba? Soalnya kemarin saat aku menukar uang receh baru dipotong Rp 10.000 per Rp 100.000, tapi kan ikhlas karena sebagai upah?”.
 
Saudaraku,
Untuk menilai apakah transaksi tersebut termasuk transaksi ribawi atau bukan, silakan panjenengan analogkan dengan contoh kasus di bawah ini:
 
Contoh kasus pertama:
X: Aku pinjam Rp 1.000.000 boleh?
Y: Boleh. Tapi saat mengembalikan ditambah Rp 100.000 ya, sehingga menjadi Rp 1.100.000. Kalau nggak mau, ya sudah. Tak ada uang yang bisa dipinjam.
X: Okay aku setuju, pinjam Rp 1.000.000.
 
Contoh kasus kedua:
R: Aku pinjam Rp 1.000.000 boleh?
S: Boleh, ini uangnya.
(Saat mengembalikan pinjaman tersebut, ternyata R telah memberi tambahan Rp 100.000)
S: Lho kok Rp 1.100.000? Bukannya anda hanya pinjam Rp 1.000.000?
R: Nggak apa-apa, kebetulan aku ada kelebihan rejeki.
 
Saudaraku,
Kejadian pertama (antara X dan Y) adalah riba karena tambahan Rp 100.000 tersebut ditetapkan dan diminta oleh pemberi pinjaman.
 
Mengapa transaksi seperti itu (yaitu mengambil keuntungan dalam hutang-piutang) dilarang? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (hadits no. 6384), Imam An-Nasa’i (hadits no. 4532) dan Imam Abu Dawud (hadits no. 3041) berikut ini:
 
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ ذَكَرَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Isma'il bin Ibrahim] telah menceritakan kepada kami [Ayub] telah menceritakan kepadaku ['Amru bin Syu'aib] dari [bapaknya] dari [kakeknya], dia berkata; Abdullah bin 'Amru menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: “Tidak halal ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan), dua persyaratan dalam satu transaksi, mengambil keuntungan dari barang yang tidak bisa dijamin (keberadaannya), dan dari menjual sesuatu yang tidak ada di tempatmu”. (HR. Ahmad, no. 6384).
 
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَحُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami ['Amru bin Ali] dan [Humaid bin Mas'adah] dari [Yazid], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Ayyub] dari ['Amru bin Syu'aib] dari [ayahnya] dari [kakeknya] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan), serta dua syarat dalam jual beli serta menjual apa yang tidak kamu miliki”. (HR. An-Nasa’i no. 4532).
 
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ حَتَّى ذَكَرَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. (رواه ابو داود)
Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] telah menceritakan kepada kami [Isma'il] dari [Ayyub] telah menceritakan kepadaku ['Amru bin Syu'aib] telah menceritakan kepadaku [Ayahku] dari [Ayahnya] hingga ia menyebutkan [Abdullah bin 'Amru] ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan), dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu”. (HR. Abu Dawud, no. 3041).

Sedangkan pada kejadian kedua (antara R dan S) bukan riba karena tambahan Rp 100.000 tersebut tidak diminta oleh pemberi pinjaman, namun merupakan pemberian secara sukarela oleh R selaku peminjam.
 
Tanggapan beliau: Aku waktu mau tukar, temanku bilang: “Nanti dipotong Rp 10.000 ya tiap Rp 100.000. Kujawab: “Okay”. Jujur waktu itu aku kaget. Tapi apa boleh buat, daripada antri di bank.
 
Berarti potongan ditetapkan dan diminta oleh yang punya uang baru?
 
Tanggapan beliau: “Betul sekali”.
 
Saudaraku,
Menukar uang Rp 100.000 dipotong Rp 10.000 itu sama saja dengan menukar Rp 90.000 uang baru dengan Rp 100.000 uang lama, yang berarti ada tambahan Rp 10.000. Jika benar demikian maka jelas hal itu termasuk transaksi ribawi, yaitu riba fadll (رِبَاالْفَضْلِ). Kecuali jika tambahan Rp 10.000 tersebut tidak diminta oleh pihak yang punya uang baru, namun merupakan pemberian secara sukarela dari panjenengan.
 
Sedangkan yang dimaksud dengan riba fadll adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2970) berikut ini:
 
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. (رواه مسلم)
23.75/2970. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim dan ini adalah lafadz Ibnu Abu Syaibah, Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Khalid Al Khaddza' dari Abu Qilabah dari Abu Al Asy'ats dari 'Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka jual-lah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya”. (HR. Muslim).
 
Tanggapan beliau: “Terus aku harus bagaimana Pak Imron, masak tak kembalikan? Ini masih ada sisa.
 
Santai saja wahai saudaraku.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk mengembalikan hasil riba yang diperoleh karena memang benar-benar tidak tahu (karena memang benar-benar tidak tahu jika transaksi seperti itu adalah riba), melainkan memaafkan apa yang telah lalu. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat 275 berikut ini2):
 
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ ... ﴿٢٧٥﴾
“... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah ...”. (QS. Al Baqarah. 275)
 
Tafsir Ibnu Katsir:
 
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا ... ﴿٢٧٥﴾
“... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ...”. (QS. Al Baqarah. 275)
 
Makna ayat ini dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum.
 
Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, tidak dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka pasti dimintai pertanggungjawabannya.
 
Dia Maha Mengetahui semua hakikat segala perkara dan kemaslahatannya; mana yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, hal itu dihalalkan-Nya bagi mereka; dan mana yang membahayakan mereka, maka Dia melarang mereka darinya.
 
Dia lebih belas kasihan kepada mereka daripada belas kasih seorang ibu kepada bayinya. Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Subhanahu waTa'ala berfirman:
 
... فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ ... ﴿٢٧٥﴾
“...Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah ...”. (QS. Al Baqarah. 275).
 
Dengan kata lain, barang siapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan. Dikatakan demikian karena firman-Nya: 
 
... عَفَا اللهُ عَمَّا سَلَفَ ... ﴿٩٥﴾
“... Allah telah mema`afkan apa yang telah lalu ...”. (QS. Al Maa-idah: 95)
 
Seperti apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kemenangan atas kota Mekah, yaitu:
 
وَكُلُّ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَا الْعَبَّاسِ
Semua riba Jahiliah telah diletakkan di bawah kedua telapak kakiku ini (dihapuskan), mula-mula riba yang kuhapuskan adalah riba Al-Abbas.
 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengembalikan bunga yang diambil mereka di masa Jahiliah, melainkan memaafkan apa yang telah lalu. Seperti juga yang disebutkan di dalam firman-Nya (yang artinya adalah): “maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Al Baqarah. 275).
 
Tanggapan beliau: “Istighfar saja ya, yang banyak? Allah pasti pahamlah, aku memang nggak tahu waktu itu”.
 
Saudaraku,
Sudah terlanjur transaksi karena memang belum paham, in sya Allah, Allah akan mengampuninya. Maka bersegeralah datang kepada Allah untuk bertaubat kepada-Nya dan berserah dirilah kepada-Nya. Dan ikutilah dengan sebaik-baiknya apa yang telah diturunkan Allah (yaitu Al Qur’an) sebelum datang azab dari-Nya dengan tiba-tiba.
 
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٥٣﴾
Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az Zumar. 53).
 
وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ ﴿٥٤﴾
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah (kalian) kepada-Nya sebelum datang kepadamu azab kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. Az Zumar. 54).
 
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٥٥﴾
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang kepadamu azab dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, (QS. Az Zumar. 55).
 
Berikut ini kusampaikan beberapa perkara untuk menambah wawasan kita terkait riba.
 
Definisi Riba
 
Saudaraku,
Riba menurut bahasa adalah nilai lebih atau tambahan (al-ziyadah), sedangkan menurut istilah, Imam Ibnu Al-‘Arabiy mendefinisikan riba sebagai semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.
 
Jenis-Jenis Riba
 
Riba itu terbagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Riba qardl (رِبَاالْقَرْضِ)
2. Riba fadll (رِبَاالْفَضْلِ)
3. Riba nasii-ah (رِبَاالنَّسِيْئَةِ)
4. Riba yad (رِباَالْيَدِ)
 
Saudaraku,
Berikut ini penjelasan dari ke-empat macam riba tersebut:
 
1. Riba Qardl (رِبَاالْقَرْضِ)
 
Riba qardl (riba dalam hutang piutang) adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.
 
Contoh: seseorang meminjamkan uang Rp 100.000 lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi ataupun jasa. Ini semua adalah riba dan pada hakekatnya bukan termasuk menghutangi. Karena yang namanya menghutangi adalah dalam rangka tolong-menolong dan berbuat baik.
 
Mengapa mengambil keuntungan dalam utang piutang itu terlarang? Hal ini karena dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Ahmad no. 6384, An-Nasa’i no. 4532 dan Abu Dawud, no. 3041).
 
2. Riba Fadll (رِبَاالْفَضْلِ)
 
Riba fadll adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2970) berikut ini:
 
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. (رواه مسلم)
23.75/2970. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim dan ini adalah lafadz Ibnu Abu Syaibah, Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Khalid Al Khaddza' dari Abu Qilabah dari Abu Al Asy'ats dari 'Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya”. (HR. Muslim).
 
3. Riba Nasii-ah (رِبَاالنَّسِيْئَةِ)
 
Riba Nasii-ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru.
 
Contoh: Si A meminjamkan uang sebanyak 10 juta kepada si B dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal tertentu dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan tersebut, maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya sebesar 5% dari total hutang.
 
Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah. Dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2991) berikut ini:
 
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ. (رواه مسلم)
23.96/2991. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah 'Amru An Naqid dan Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Abu Umar dan ini adalah lafadz 'Amru. Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami, dan yang lainnya mengatakan; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari 'Ubaidullah bin Abu Yazid bahwa dia pernah mendengar Ibnu Abbas berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya riba itu dalam nasii’ah”. (HR. Muslim).
 
4. Riba Yad (رِباَالْيَدِ)
 
Riba yad adalah riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima.
 
Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 2028) berikut ini:
 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَدَعَانِي طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ فَتَرَاوَضْنَا حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّي فَأَخَذَ الذَّهَبَ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ ثُمَّ قَالَ حَتَّى يَأْتِيَ خَازِنِي مِنْ الْغَابَةِ وَعُمَرُ يَسْمَعُ ذَلِكَ فَقَالَ وَاللهِ لَا تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ. (رواه البخارى)
18.123/2028. Telah menceritakan kepada saya 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus mengabarkan kepadanya bahwa dia mencari sharf (barang dagangan) yang akan dibelinya dengan seratus dirham. Maka Tholhah bin 'Ubaidullah memanggilku lalu kami saling mengemukakan harga dia membeli dariku lalu dia mengambil emas sebagai ganti pembayarannya seraya berkata: “Hingga tukang gudang kami datang dari hutan”. 'Umar mendengar perkataan itu lalu berkata: “Demi Allah, janganlah kamu meninggalkan dia hingga kamu ambil bayaran darinya karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jual beli emas dengan emas adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash), beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash) dan kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini (kontan, cash)”. (HR. Bukhari).
 
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
 
Semoga bermanfaat.
 
NB.
1)  Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim yang kharismatik”.
 
2)  Surat Al Baqarah ayat 275 selengkapnya adalah sebagai berikut:
 
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَوٰا لَا يَقُومُونَ إِلّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَـــٰنُ مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَوٰا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـــٰــئِكَ أَصْحَـــٰبُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَـــٰــلِدُونَ ﴿٢٧٥﴾
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah. 275).
 
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2 tulisan }
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞