Saudaraku…,
Mas Fulan adalah seorang pemuda alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka di Surabaya. Dengan berbekal ijazah dari ITS, akhirnya Mas Fulan dapat diterima sebagai staf/karyawan di sebuah perusahaan multinasional di kota yang sama. Dengan gaji tetap per bulan, dia sudah merasa sangat bahagia dan menikmati pekerjaannya tersebut.
Setelah berjalan beberapa tahun, karier Mas Fulan semakin menanjak. Dengan penghasilan yang semakin meningkat dan usia yang semakin matang, Mas Fulan memandang bahwa kini sudah saatnya untuk mengakhiri masa lajangnya.
Tidak lama setelah menikah, Mas Fulan pun dikaruniai seorang anak yang lucu. Pada perkembangan selanjutnya, anak tersebut tumbuh dengan baik. Tentu saja hal ini semakin membuat Mas Fulan berbahagia. Mas Fulan berharap, anaknya tersebut benar-benar dapat menjadi tumpuannya, kelak di hari tuanya.
Seperti halnya Mas Fulan, prestasi sekolah anaknya juga sangat cemerlang, hingga akhirnya dapat mengantarkannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi teknik paling favorite di negeri ini, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dengan berbekal ijazah dari ITB, anaknya Mas Fulan juga dapat diterima sebagai staf/karyawan di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, kariernya bahkan lebih baik dari ayahnya. Dan tentu saja hal ini semakin membuat Mas Fulan berbahagia. Mas Fulan merasa, bahwa dia benar-benar tidak salah mengorbankan segalanya demi masa depan sang anak. Dengan karier anaknya yang semakin bagus, Mas Fulan benar-benar bangga, karena anaknya tersebut benar-benar dapat menjadi tumpuannya, seiring dengan usianya yang semakin senja.
Memasuki masa-masa pensiun, Mas Fulan dapat melaluinya dengan bahagia. Secara materi, dia tidak kekurangan. Apalagi masih ditambah dari kiriman anak satu-satunya. Benar-benar masa tua yang didamba oleh banyak orang.
Hingga akhirnya, cobaan itupun datang. Dengan usia yang semakin senja, Mas Fulan menderita sakit parah hingga tanda-tanda bahwa Mas Fulan akan tutup usia semakin jelas di depan mata. Dan tentu saja, anak satu-satunya tersebut dengan setia mendampingi sang ayah. Dan sekali lagi, hal ini membuat Mas Fulan semakin berbahagia, karena disaat-saat seperti ini masih ada anak semata wayangnya yang setia menemaninya.
Namun, begitu saat-saat menjelang ajal tiba, anaknya yang selama ini dicintainya, dimana dia telah mengorbankan segalanya demi sang anak, ternyata sudah tidak mampu menolongnya lagi. Bahkan anaknya telah membiarkan Mas Fulan sendirian menghadapi sakaratul maut yang demikian mengerikan. Karena pada saat-saat kritis seperti ini, anaknya hanya mampu mendo’akan Mas Fulan, tidak lebih dari itu.
Pada saat-saat kritis seperti ini, ternyata Mas Fulan benar-benar harus berjuang sendirian menghadapi sakaratul maut yang demikian mengerikan. Pada saat-saat kritis seperti ini, ternyata Mas Fulan benar-benar mengalami sendiri betapa dahsyatnya sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR. Tirmidzi). “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?” (HR. Bukhari).
Dan pada saat-saat kritis seperti ini pula, barulah Mas Fulan menyadari, bahwa anak satu-satunya yang selama ini dia banggakan, ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Pada saat-saat kritis seperti ini, barulah Mas Fulan menyadari bahwa ternyata hanya Allah-lah yang bisa menolong dirinya.
Mas Fulan benar-benar menyesal, mengapa selama ini dia terlalu berharap hanya kepada anaknya saja? Bukankah anaknya – seperti halnya dirinya – juga tercipta dalam keadaan yang teramat lemah? Yang benar-benar tidak dapat membantunya untuk lari menghindari sakaratul maut? ”Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. (QS. Qaaf. 19). Mengapa selama ini dia telah melupakan firman Allah dalam surat An Nisaa’ ayat 28 yang menyatakan bahwa semua manusia itu benar-benar dijadikan bersifat lemah? “... dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisaa’. 28).
Mengapa pula, selama ini dia tidak berharap hanya kepada Allah semata? Bukankah Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu? Bukankah Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong? Dan bukankah hanya kepada Allah saja, pada akhirnya dia akan dikembalikan?
Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. Al Ikhlash. 2). “Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al Anfaal. 40). “Dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Tahriim. 2). “Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”. (QS. As Sajdah. 11).
Ya, Allah...!
Mudahkanlah kami dalam menghadapi sakaratul maut. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan baik. Amin...! “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik* oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun`alaikum**, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (QS. An Nahl. 32). *) Maksudnya: wafat dalam keadaan suci dari kekafiran dan kemaksiatan, atau dapat juga berarti mereka wafat dalam keadaan senang karena ada berita gembira dari malaikat bahwa mereka akan masuk surga. **) Artinya adalah: selamat sejahtera bagimu.
Semoga bermanfaat!
NB.
Mas Fulan pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon ma’af jika secara kebetulan ada kemiripan nama dengan kisah di atas!