Saudaraku…,
”Jika ada kelebihan, optimalkan kelebihan itu sebagai perwujudan rasa syukur kita kepada-Nya. Sebaliknya, jika ada kekurangan, pandanglah kekurangan itu justru sebagai kelebihan kita”.
Jika pada saat ini ada kelebihan yang diberikan Allah pada diri kita, maka optimalkan kelebihan itu sebagai perwujudan rasa syukur kita kepada-Nya. Yang dimaksud dengan kelebihan disini dapat meliputi segala hal. Bisa berupa kelebihan harta, kesehatan, ilmu yang kita miliki, waktu/kesempatan, dst.
Jika pada saat ini Allah memberikan kelebihan harta kepada kita, maka optimalkan kelebihan harta itu untuk dibelanjakan di jalan Allah (untuk diberikan kepada kerabat yang terdekat akan haknya, membantu fakir miskin, untuk berdakwah, dst.) yang kesemuanya itu kita lakukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah sekaligus sebagai perwujudan rasa syukur kita kepada-Nya. Jangan malah sebaliknya (menghambur-hamburkan harta, berlebih-lebihan, dll.). Ingat..., bahwa tidak semua orang diberi kelebihan harta. “… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. Al Israa. 26). “… dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al An’aam. 141).
Jika pada saat ini Allah telah memberikan kelebihan ilmu kepada kita, maka manfaatkan ilmu yang kita miliki tersebut sebesar-besarnya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta sebarkan ilmu yang kita miliki tersebut kepada saudara-saudara kita yang lain. Bukankah orang yang paling baik adalah orang yang paling banyak memberi manfaat kepada yang lain? Demikian penjelasan Rasulullah dalam sebuah hadits.
Jika pada saat ini Allah masih memberikan waktu/kesempatan kepada kita, maka manfaatkan waktu/kesempatan tersebut sebesar-besarnya untuk berbuat amal kebajikan, sebelum waktu/kesempatan itu pergi meninggalkan kita. Hal ini kita lakukan, semata-mata untuk mencari keridhaan Allah sekaligus sebagai perwujudan rasa syukur kita kepada-Nya atas waktu/kesempatan yang telah Allah berikan kepada kita. “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at.” (QS. 2. 254). Demikian seterusnya..., jika saat ini ada kelebihan yang diberikan Allah (apapun bentuk kelebihan itu) pada diri kita, maka optimalkan kelebihan itu sebagai perwujudan rasa syukur kita kepada-Nya.
Sebaliknya, jika pada saat ini ada kekurangan pada diri kita, pandanglah kekurangan itu justru sebagai kelebihan kita. Yang dimaksud dengan kekurangan disini dapat meliputi segala hal. Bisa berupa kekurangan harta, kesehatan, ilmu yang kita miliki, waktu/kesempatan, dll., dst.
Jika pada saat ini kita sedang kekurangan harta, maka pandanglah hal ini justru sebagai kelebihan kita. Karena bisa jadi, dengan kekurangan harta tersebut, Allah telah membentengi diri kita dari perbuatan maksiat/kesombongan. Betapa tidak, ketika keinginan untuk berbuat maksiat itu ada, ternyata kita tidak mungkin melakukannya, karena kita tidak punya biaya untuk itu. Pada saat yang lain, ketika kita akan menyombongkan diri, terpaksa kita harus menahan diri karena hal itu tak mungkin kita lakukan, karena kita tidak punya cukup harta untuk menyombongkan diri. Dst... Bukankah hal ini justru merupakan kelebihan kita, karena dengan kondisi ini, kita dapat terhindar dari perbuatan maksiat/kesombongan?
Jika pada saat ini kita sedang sakit, maka pandanglah hal ini justru sebagai kelebihan kita. Bukankah pada saat kita dalam keadaan sakit, biasanya kita dalam keadaan lemah sehingga kita dapat merasakan bahwa ternyata kita sangat membutuhkan-Nya? Bukankah hal ini justru merupakan kelebihan kita, karena dalam kondisi sakit, justru dapat membuat kita menjadi lebih dekat dengan Allah? Demikian seterusnya..., jika pada saat ini ada kekurangan (apapun bentuk kekurangan itu), maka pandanglah kekurangan itu justru sebagai kelebihan kita.
Saudaraku…,
Jika cara berpikir kita seperti ini, tentunya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk tidak bersyukur/mengeluh, bagaimanapun situasi/kondisi yang sedang kita hadapi. Yang terjadi justru sebaliknya. Apalagi jika hal ini kita kaitkan dengan salah satu hadits dimana Ahmad, Ibn Majah dan Albaihaqi meriwayatkan, bahwa Allah berfirman: “Aku selalu mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, maka untung baginya. Dan jika berprasangka buruk, maka ia akan terkena bahayanya”.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar