Seorang sahabat (dosen ITS) telah memberi komentar terhadap artikel yang berjudul: ”TOLERANSI BERAGAMA (I)” dengan komentar sebagai berikut:
Assalamu 'alaina WARSAWA (Wa 'Ala Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Aalihi).
Teman...,
Tentang QS. 2: 256 itu, "paksaan" bukanlah satu-satunya kata yang dapat digunakan sebagai terjemahan. Kata dasar kata ikroha adalah karoha yang berarti tidak suka, Kata makruh juga dari kata tersebut. Jadi dalam konteks penerimaan keyakinan, seyogyanya agama diperlakukan sebagai hal yang disukai atau bahkan dibutuhkan. Kelanjutan ayat tersebut juga menerangkan bahwa sungguh telah terang kenyataan (yang hanya dapat ditangkap oleh kesadaran yang murni) dan khayalan (yang timbul dari kebodohan, keinginan nafsu dan tipuan syaithon). Secara fitrah manusia tentu menyukai bahkan membutuhkan sesuatu yang nyata daripada khayalan bukan.
Karenanya mereka yang tidak menyukai agama biasanya karena tenggelam dalam khayalan atau bahkan mimpi. Menurut Ustad-ku mereka ini dalam keadaan tidur.
Jadi, kalau ada ayat lain menerangkan tentang "Bagiku agamaku dan bagimu agamamu" itu tidaklah menghalangi kita untuk peduli kepada mereka yang non-muslim. Bahkan kalau-pun itu dianggap sebagai pembicaraan tentang akidah, mereka itu tidaklah berakidah. Sepengetahuan saya ayat ini turun berkenaan dengan ajakan damai oleh para pemuka Yahudi di Madinah agar Rasulullah tidak lagi menda'wahi kalangan mereka. Dan sebagai timbal-baliknya mereka bersedia untuk beribadah dengan cara Islam berselang-seling dengan cara ibadah mereka dan mereka juga menuntut agar Rasulullah juga melakukan hal yang sama. Maka ini tidaklah bisa ditolerir. Ayat ini adalah pernyataan bahwa apa yang dibawa Rasulullah adalah suatu yang berbeda dan tidak dapat dicampur-adukkan dengan apa yang mereka bawa. Dan agar Rasulullah dengan tegas menyatakan apa yang beliau bawa adalah dari Allah dan untuk Allah, sedangkan mereka tidaklah begitu walaupun mereka berkata bahwa mereka adalah pewaris ajaran nabi Musa AS dan dari Allah juga.
Karena itu apa yang kemudian menjadi konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa da'wah kepada seluruh umat manusia wajib disampaikan dengan cara yang baik dan disesuaikan dengan fitrah manusia yang suka akan kebaikan. Kalaupun terdapat penolakan atau perlawanan, maka itu harus dipandang sebagai perilaku orang-orang yang belum sadar dari tidurnya.
Demikianlah da'wah amar ma'ruf nahi munkar tidak mengecualikan mereka yang non-muslim. Karena semua manusia secara fitrahnya sama suka pada kebaikan yang berpangkal-ujung pada kebenaran, maka kebaikan dan kebenaran itu tidak boleh hanya menurut persepsi pribadi masing-masing. Kebaikan dan kebenaran tidak boleh dilepaskan dari ajaran agama. QS 23: 71 "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu."
Wallahu a'lam.
Wasalamu 'alaina WARSAWA.
-----
Wa'alaikumussalam wr. wb.
Benar sekali, teman...!
Berdakwah itu tidak hanya kepada saudara-saudara seiman, tetapi juga kepada non-muslim. Tulisanku yang berjudul "Menyebarkan Al Qur'an" (jika berkenan membacanya, silahkan klik di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2009/10/menyebarkan-al-quran.html), juga menunjukkan bahwa kita juga harus peduli kepada mereka.
Pengalamanku berdialog tentang akidah dengan non-muslim (sebagian diantaranya juga sudah aku kirimkan kepada sampean) juga menunjukkan bahwa kita juga harus peduli dengan mereka.
Dari saudara seiman: Imron Kuswandi M.
-----
Beliau mengatakan: “Da'wah tentu merupakan intervensi cara pandang terhadap kebenaran, yang jadi pangkal-ujung amal kan? Nah implementasinya dalam amal yang diserahkan kepada masing-masing. Tapi bila satu sama lain saling berhubungan misal dalam muamalat, maka ada konsep ihsan, adil, dan sabar serta utamakan selamat. Ini ’nggak akan bisa lepas dari ikatan agama yang lurus”.
-----
Assalamu'alaikum wr. wb.
Teman...,
Yang aku maksud dengan intervensi, antara lain: kita ikut mengatur / memasukkan unsur-unsur Islam dalam peribadatan mereka yang non-muslim atau sebaliknya. Contohnya: setiap memulai peribadatan mereka yang non-muslim, kita paksakan untuk membaca basmalah. Atau sebaliknya, ketika seseorang hendak sholat di masjid, kemudian orang lain yang non-muslim telah memaksakannya untuk memakai salib. Atau dilakukan kompromi: saat ini seorang muslim dipersilahkan menyembah Allah, tetapi lain waktu menyembah sembahan-sembahan mereka selain Allah. Demikian juga mereka yang non-muslim melakukan hal yang sama secara bergantian sebagai jalan tengahnya untuk menuju kedamaian.
Jadi, biarlah semuanya berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan keyakinan masing-masing, sebagaimana sudah dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Kaafiruun ayat 6 berikut ini: “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. Al Kaafiruun: 6).
Sedangkan apabila hanya bertukar pikiran, hal itu sama sekali tidak ada masalah, sepanjang tidak ada paksaan dari masing-masing pihak untuk membenarkan dan mengikuti apa yang dikatakannya. Bukankah Allah-pun hanya mewajibkan kita untuk menyampaikan ayat-ayat Allah? “Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 20). Wallahu a'lam..
Dari saudara seiman: Imron Kuswandi M.
-----
Beliau mengatakan:
Wasalamu 'alaina WARSAWA
Ya' setuju banget.
Itu ada temanku Pak Jun dari Unes Semarang tertarik juga dengan diskusi kita. Tolong di-cc katanya.
Wasalamu 'alaina WARSAWA
-----
Demikian…,
Semoga hasil diskusi ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar