Assalamu’alaikum wr. wb.
Pada suatu saat, Pak Fulan – seorang dosen – sedang mempersiapkan diri untuk mempublikasikan hasil penelitiannya melalui sebuah seminar penelitian tingkat nasional. Namun karena kesibukannya, beliau menyerahkan makalahnya kepada Pak Nafil – seorang pengusaha rental komputer – untuk diketikkan dalam format “Power Point” yang akan digunakan untuk presentasi di seminar tersebut. Setelah proses pengetikan selesai, Pak Fulan mengambilnya dan membayar biaya pengetikan sebesar Rp 2.500,- per halaman (sesuai kesepakatan). Selanjutnya, Pak Fulan mengecek hasil pengetikan tersebut, dan ternyata ditemukan kesalahan ketik sekitar satu/dua huruf. Sebenarnya beliau hampir saja marah, namun karena ongkosnya hanya Rp 2.500,- per halaman, maka beliau memandang bahwa ini adalah kesalahan yang seharusnya bisa ditolerir/dima’afkan.
Pada kesempatan yang lain, Pak Fulan juga sedang mempersiapkan diri untuk mempublikasikan hasil penelitiannya. Namun kali ini beliau akan mempublikasikannya melalui sebuah seminar penelitian tingkat internasional. Karena kesibukannya, beliau kembali menyerahkan makalahnya kepada Pak Nafil untuk diketikkan dalam format “Power Point” yang akan digunakan untuk presentasi di seminar tersebut. Pada kesempatan kali ini, beliau bersedia untuk membayar biaya pengetikan sebesar Rp 1.000.000,- per halamannya. Setelah proses pengetikan selesai, Pak Fulan mengambilnya. Dan seperti biasanya, Pak Fulan mengecek hasil pengetikan tersebut, dan ternyata masih juga ditemukan kesalahan ketik sekitar satu/dua huruf. Melihat hal ini, tentunya beliau bisa saja marah besar. Beliau memandang, bahwa ini adalah kesalahan yang sudah tidak bisa dima’afkan lagi. Maklum, kali ini beliau telah bersedia untuk membayar biaya pengetikan hingga sebesar Rp 1.000.000,- per halamannya.
Saudaraku…,
Jika kita melihat kisah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk kesalahan yang sama, ternyata nilai kesalahannya akan semakin tinggi ketika imbalan yang diberikan juga semakin tinggi.
Saudaraku…,
Lalu bagaimanakah Allah kepada kita? Ternyata nikmat yang diberikan-Nya kepada kita adalah tidak terhingga, baik nilainya maupun jumlahnya. Jantung kita misalnya (juga paru-paru kita, hati kita, organ pencernaan kita, apalagi otak kita), tentunya kita tidak akan bersedia jika ditukar dengan sejumlah uang, berapapun banyaknya, karena masing-masing tak ternilai harganya.
Demikian juga halnya dengan nikmat-nikmat yang lain (udara yang kita hirup saat kita bernafas, bumi tempat kita berpijak, air yang kita minum, dll), ternyata semuanya tidak ternilai. Sementara jika kita mencoba untuk menghitung jumlahnya, pasti kita juga tidak akan mampu, karena jumlah nikmat yang diberikan-Nya kepada kita adalah tak terhingga. “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah)”. (QS. Ibrahim. 34).
Jika kita melihat kembali kesimpulan kisah di atas (yang menyatakan bahwa untuk kesalahan yang sama, ternyata nilai kesalahannya akan semakin tinggi ketika imbalan yang diberikan juga semakin tinggi), maka logika kita** akan mengatakan bahwa apabila kita melakukan suatu kesalahan yang menurut kita hanyalah kesalahan yang sepele, tentunya nilai kesalahannya adalah teramat besar, bahkan tak terhingga. Hal ini jika dikaitkan dengan pemberian Allah yang tak terhingga kepada kita (wallahu a'lam).
Dengan demikian apabila karena melakukan suatu kesalahan (yang menurut kita hanyalah kesalahan yang kecil), kemudian kita dihukum di neraka dengan siksaan yang tak terperikan selama 1 juta tahun misalnya, selanjutnya kesalahan/dosa kita tersebut dianggap telah terhapus, maka pasti hal ini karena telah dima’afkan oleh Allah Yang Maha Pema’af (wallahu a'lam). Jika tidak, tentunya logika kita** akan mengatakan bahwa akibat kesalahan yang kecil tersebut, maka dihukum di neraka berapa lamapun, hal ini tetap tidak akan mampu menghapus dosa/kesalahan kita tersebut (wallahu a'lam). Bukankah nilai kesalahan kita adalah tidak terhingga?
Nah ....., jika melakukan suatu kesalahan yang kecil saja sudah begitu mengerikan dampaknya di akhirat kelak, lalu bagaimanakah jika kita melakukan kesalahan-kesalahan yang lebih besar (korupsi, kolusi, nepotisme, memfitnah, berjudi, dll.)?
Saudaraku…,
Ketahuilah, bahwa: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. 103. 2-3).
Yah ....., memang begitulah kenyataannya. Kebanyakan di antara kita benar-benar berada dalam keadaan merugi. Tanpa kita sadari, seringkali kita dengan senang hati, bahkan berusaha keras untuk mencari kesempatan agar kita dapat menukar kesenangan yang sedikit selama masa hidup kita yang teramat singkat di dunia ini, dengan kesulitan yang tiada tara, kelak di alam akhirat nanti!!! Na’udzubillahi mindzalika!
Saudaraku…,
Segera bertaubatlah, jika selama ini masih bergelimang dalam dosa, mumpung kesempatan untuk bertaubat itu masih ada. Segera memohon ma’aflah kepada saudara-saudara kita yang lain, apabila kita telah melakukan kesalahan kepada mereka, mumpung hal itu masih bisa kita lakukan. Hormatilah kedua orang tua kita. Bahagiakanlah mereka berdua. Jangan sakiti keduanya, walau hanya sedikit, supaya kita terhindar dari ancaman adzab-Nya yang teramat dahsyat.
Saudaraku…,
Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. 6. 15).
Dan bersyukurlah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita. Janganlah kita melupakan nikmat-Nya, supaya kita terhindar dari adzab-Nya yang teramat pedih. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim. 7).
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Pak Fulan dan Pak Nafil pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon ma’af jika secara kebetulan ada kemiripan nama dengan kisah di atas!
**) Setiap kali ’ku tuliskan kalimat (logika kita** akan mengatakan), maka selalu ’ku ikuti dengan kalimat (wallahu a'lam). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan logika kita/ilmu kita adalah sangat terbatas, sebagaimana penjelasan Al Qur’an berikut ini: “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85). Sedangkan yang lebih mengetahui bagaimana yang sebenarnya, tentunya hanya Allah semata, karena Pengetahuan Allah adalah meliputi segala sesuatu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an berikut ini: “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaahaa. 110). “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 12).