Mas Nafil dan Mas Fulan adalah dua orang alumnus sebuah SMA di Blitar. Meski rumah keduanya tidak berdekatan dan baru saling mengenal pada saat keduanya sama-sama menempuh pendidikan di SMA, namun persahabatan antara keduanya tetap dapat terjalin dengan indahnya. Rasanya, dimana ada Mas Nafil disitu pula ada Mas Fulan.
Namun setelah lulus dari SMA, keduanya tidak bisa bersama-sama lagi. Mas Nafil melanjutkan pendidikan tinggi di Unibraw Malang, sedangkan Mas Fulan menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi swasta, nun jauh di ujung barat pulau Jawa. Meskipun demikian, persahabatan antara keduanya tetap dapat terjalin dengan baik, karena komunikasi antara keduanya tetap bisa berjalan, baik lewat telepon, SMS maupun lewat e-mail.
Hingga akhirnya ”petaka” itu datang. Mas Fulan yang selama ini setia dan senantiasa meluangkan waktu untuk menjalin komunikasi dengan Mas Nafil, tiba-tiba ”menghilang” begitu saja. Beberapa waktu kemudian, barulah Mas Nafil mengetahui penyebabnya. Ternyata Mas Fulan telah wafat dalam sebuah kecelakaan yang menimpanya beberapa waktu yang lalu.
Melihat kenyataan ini, Mas Nafil hanya bisa mengeluh dan menyesalinya. Seolah, Mas Nafil tidak bisa menerima kenyataan ini, hingga hari-hari dia lalui dengan wajah yang selalu murung, frustasi dan penuh dengan keputus-asaan. Karena rasa frustasi itu terus berkepanjangan, hingga pada akhirnya berdampak negatif pada perkembangan jiwanya.
Saudaraku…,
Pada kisah di atas, apapun sikap Mas Nafil – apakah dia mengeluh dan menyesalinya atau dia menerima dengan lapang dada – yang pasti Mas Fulan telah berpulang menghadap Sang Pencipta. Sikap apapun yang diambil oleh Mas Nafil, hal ini tetap tidak akan mengubah keadaan, karena wafatnya Mas Fulan adalah sebuah fakta/kenyataan.
Saudaraku…,
Jika memang demikian, mengapa Mas Nafil memilih sikap negatif? Mengapa tidak memilih sikap yang positif saja? Bukankah kedua sikap tersebut sama-sama tidak mampu mengubah fakta/kenyataan bahwa Mas Fulan telah wafat?
Jika Mas Nafil memilih sikap negatif (mengeluh dan menyesalinya, tidak bisa menerima kenyataan, selalu murung, frustasi, putus asa, dst.), maka hal ini dapat menjadikannya senantiasa berburuk sangka kepada-Nya sehingga jiwanya menjadi tidak tenang dan tanpa disadarinya – perlahan namun pasti – Mas Nafil dapat semakin jauh dari Allah. Na’udzubillahi mindzalika!
Sebaliknya, jika Mas Nafil memilih sikap positif (menerimanya dengan lapang dada), maka hal ini dapat menjadikannya untuk senantiasa berbaik sangka kepada Sang Pencipta sehingga mampu membawanya untuk semakin dekat kepada-Nya dan hatinya menjadi tenang.
Dengan memilih sikap positif, maka Mas Nafil menjadi tidak terlalu berduka cita terhadap apa yang luput darinya. Karena sesungguhnya Allah-lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Qur’an berikut ini: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira** terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al Hadiid. 23). **) Yang dimaksud dengan terlalu gembira disini adalah gembira yang telah melampaui batas, yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.
Semoga bermanfaat.
NB.
Mas Nafil dan Mas Fulan pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon ma’af jika secara kebetulan ada kemiripan nama dengan kisah di atas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar