Bung Fulan adalah seorang pemuda alumnus sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkenal di Surabaya yang baru saja diterima sebagai staf pengajar/dosen di sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terkemuka di kota yang sama. Dengan gaji tetap per bulan, dia sudah merasa sangat bahagia dan menikmati profesinya sebagai seorang dosen.
Kini setelah menjadi dosen, dia semakin sibuk dengan kegiatan mengajar, membimbing praktikum, membimbing/menguji tugas akhir/skripsi, dll. Sebagai tuntutan profesi, dia juga mulai menyibukkan diri dengan kegiatan penelitian. Berbagai kegiatan seminar penelitian di tingkat nasional sudah mulai dia ikuti sebagai salah satu sarana untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya. Tak lupa, dia juga aktif dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu wujud kepeduliannya kepada masyarakat.
Demikianlah, hari-hari dia lalui dengan berbagai kesibukan. Hingga pada akhirnya, gaji tetap yang biasa/rutin dia nikmati per bulan, tanpa dia sadari seperti berlalu begitu saja. Dia baru merasa mendapatkan rezeki jika ada penghasilan tambahan, yaitu ketika hr. pembimbing/penguji skripsi cair, meski jumlahnya tidak sebanding dengan gaji bulanan yang dia terima. Demikian juga saat hr. pembimbing praktikum, hr. mengajar, hr. koreksi UTS/UAS serta penghasilan lainnya yang sifatnya incidental.
Saudaraku…,
Apa yang dialami oleh Bung Fulan tersebut, bisa saja terjadi pada diri kita, terutama bagi kita yang bekerja sebagai karyawan dengan gaji tetap per bulan. Tanpa kita sadari, bisa jadi kita baru merasa mendapatkan rezeki ketika ada penghasilan tambahan yang sifatnya incidental, meski jumlahnya tidak sebanding dengan gaji bulanan yang kita terima.
Demikianlah, sesuatu yang biasa/rutin kita peroleh/kita nikmati, seolah hal itu berlalu begitu saja. Padahal semuanya tidaklah datang dengan sendirinya. Karena semuanya merupakan nikmat pemberian Allah Yang Maha Pemurah, yang seringkali kita lupakan. Dan tanpa kita sadari, seringkali kita baru merasa mendapatkan nikmat/rezeki dari-Nya ketika ada nikmat/rezeki tambahan yang sifatnya incidental, meski nilainya tidak sebanding dengan nikmat/rezeki yang biasa/rutin kita peroleh/kita nikmati. Ah… betapa pelitnya kita untuk bersyukur…!
“... Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Baqarah. 243). “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah)”. (QS. Ibrahim. 34).
Saudaraku…,
Kondisi di atas, ternyata juga dapat terjadi pada semua aspek kehidupan kita yang lain. Nikmat pendengaran kita, misalnya. Karena sudah biasa kita terima sejak kita terlahir di dunia ini, maka nikmat pendengaran itu seolah-olah seperti berlalu begitu saja. Sepertinya kita tidak pernah merasa bahwa setiap saat kita telah diberi nikmat pendengaran sehingga kita dapat menikmati keramaian/hiruk pikuknya kehidupan dunia ini.
Demikian pula dengan nikmat penglihatan. Karena sudah biasa kita nikmati sejak kita terlahir di dunia ini, maka seolah-olah nikmat penglihatan itu seperti berlalu begitu saja. Sepertinya kita tidak pernah merasa bahwa setiap saat kita telah diberi nikmat penglihatan sehingga kita dapat menikmati keindahan dunia ini.
Hal yang sama juga terjadi dengan hati kita. Karena sudah kita terima sejak kita terlahir di dunia ini, seolah-olah hal itu seperti berlalu begitu saja. Sepertinya kita tidak pernah merasa bahwa dengannya, kita dapat merasakan bahagianya hidup ini, juga perasaan senang, sedih, gembira, terharu, dst. silih berganti, sehingga menjadikan hidup ini terasa lebih bermakna, tidak monoton dan membosankan.
"Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (QS. Al Mulk. 23). “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (QS. Al Mu’minuun. 78). “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (QS. As Sajdah. 9).
Saudaraku…,
Demikian pula halnya dengan adanya malam dan siang yang secara teratur silih berganti. Sehingga dengannya kita dapat bekerja dan beristirahat. Bisa dibayangkan jika malam dan siang tidak bergantian secara teratur. Misalnya, tiba-tiba malam berlangsung sangat lama, baru berganti siang. Demikian pula sebaliknya, sehingga sulit diprediksi kapan malam berganti siang, juga siang berganti malam. Kondisi seperti ini pasti akan membuat hidup kita tidak teratur, jauh dari kenyamanan.
Namun, karena malam dan siang yang secara teratur silih berganti tersebut telah biasa kita nikmati sejak kita terlahir di dunia ini, seolah-olah hal itu seperti berlalu begitu saja. Ah… betapa pelitnya kita untuk bersyukur…! “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur”. (QS. Al Furqaan. 62).
Saudaraku…,
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu**, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat)-Ku”. (QS. Al Baqarah. 152). **) Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu. “Dan terhadap ni'mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. (QS. Adh Dhuhaa. 11).
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman. 12).
Semoga bermanfaat.
NB.
Bung Fulan pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon ma’af jika secara kebetulan ada kemiripan nama dengan kisah di atas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar